Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Nasib Rakyat Indonesia Mirip Suku Aborigin di Australia

Warta Ekonomi, Jakarta -

Proklamasi Indonesia merupakan suatu keajaiban karena mampu menyatukan ribuan pulau, 700 lebih etnik grup, dan 360-an bahasa, yang dipisahkan oleh lautan. Di belahan bumi lain bangsa-bangsa di daratan Afrika Utara dan Amerika Latin merdeka dan saling terpecah menjadi puluhan negara.

Tokoh gerakan rakyat Jumhur Hidayat mengatakan persatuan Indonesia merupakan buah hasil dari kebesaran jiwa kaum pribumi di daerah-daerah, yakni para pemimpin dan pemangku adat.

"Para pemimpin dan pemangku adat yang sesungguhnya sudah berkuasa dan berpemerintahan. Ada ungkapan '1 untuk semua, semua untuk 1' di awal kemerdekaan dulu. Semua suku-suku bangsa merelakan ikut dalam negara proklamasi menjadi satu Indonesia," katanya dalam rilis pers yang diterima di Jakarta, Sabtu (20/8/2016).

Jumhur Hidayat menjelaskan bahwa pada saat ini satu Indonesia tak lagi untuk semua suku, tapi Indonesia telah memberikan kekayaan dan kemampuannya untuk Amerika, Inggris, Tiongkok, Jepang, dan Korea, sehingga rakyat yang tersebar di berbagai daerah yang berjasa menjadikan Indonesia merdeka malah terpinggirkan tersuruk dalam kemiskinan.

"Ironisnya, ketika ada yang menyatakan pribumi harus bangkit akan dituduh rasis. Padahal, perjuangan golongan dibenarkan dalam konstitusi, seperti dulu ada Partai Tionghoa, Partai Arab Indonesia. Sekarang kita harus memperjuangkan diri kita karena kita sudah tidak lagi jadi tuan di negeri sendiri. Saudara-saudara berkumpul merasa senasib, seolah menjadi warga Aborigin, suku asli di Australia yang secara sistematik dihancurkan," ujarnya.

Ia mengatakan telah terjadi aboriginisasi kaum pribumi di Indonesia karena sumber daya alam di tanah air dipersembahkan buat kepentingan asing.

"Tidak ada kata tidak, aboriginisasi kaum pribumi harus dilawan," serunya.

Secara khusus, mantan Kepala BNP2TKI itu mengecam kebijakan datangnya tenaga kerja asing (TKA) Tiongkok. Ia menilai hal tersebut bukanlah keputusan bisnis karena tak menguntungkan secara ekonomi. Ia meyakini ada misi besar untuk mengolonisasi seperti dalam kasus Reklamasi Jakarta untuk tempat tinggal 1,5 juta orang yang sudah mulai dipasarkan di Tiongkok, kasus enclave Walini di Jawa Barat, di Papua, Kalimantan, hingga Sulawesi.

"Pada saatnya nanti kita akan jadi satelitnya negeri Tiongkok. Kita sedang disiasati oleh banyak negara karena keluguan, kebodohan, dan kesalahan kita khususnya para pemimpin dan korbannya adalah kaum pribumi. Tahun '98 katanya terjadi kerusuhan etnis dengan tingkat ketimpangan 0,308. Output-nya kaum pribumi jadi terdakwa karena dituduh rasis, brutal, dan tak tahu diri. Saat ini ketimpangan sosial sudah 0,41 dan di beberapa tempat sudah 0,45. Banyak revolusi terjadi di indeks ketimpangan 0,4," paparnya.

Jumhur mengaku heran karena tak ada koreksi atas ketimpangan atau pemerataan pendapatan dan kesempatan malah kesenjangan di tanah air makin melebar.

"Namun begitu, saya pesan, Partai Priboemi harus pastikan tak boleh ada setetespun darah warga nonpribumi tumpah. Ini tugas besar kita dan Partai Priboemi tak boleh rasis. Kata pribumi harus jadi kata sifat, siapa yang berjuang memajukan rakyat miskin dan yang tersingkirkan itulah jiwa pribumi. Bila berkuasa, keluarkan kebijakan agar rakyat banyak yang mayoritas pribumi harus ikut dalam berbagai kegiatan pemberdayaan diri sehingga bisa lebih sejahtera dan bermartabat," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: