Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia meminta pemerintah melalui Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar dan Komisi Pemberantasan Korupsi menginvestigasi pungutan-pungutan yang memberatkan calon tenaga kerja Indonesia.
"Permintaan tersebut sudah kami sampaikan ketika mengadakan pertemuan dengan Kementerian Tenaga Kerja beberapa waktu lalu di Jakarta," kata Ketua Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Apjati) Nusa Tenggara Barat (NTB), H Muhammadun, di Mataram, Senin (24/10/2016).
Ia menyebutkan, berbagai pungutan yang memberatkan calon TKI adalah pungutan "endorse" paspor sebesar Rp1 juta dan pungutan pengambilan sidik jari sebesar Rp320 ribu.
Pungutan itu dilakukan oleh dua perusahaan berbeda dari Malaysia yang menempatkan perwakilannya di Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta, Konsulat Jenderal Malaysia di Pontianak (Kalimantan Barat), Medan (Sumatera Utara), dan Pekanbaru (Riau).
Pungutan yang sudah dilakukan sejak tahun 2014 tersebut tentu membebani para calon TKI yang ingin bekerja di Malaysia, karena perusahaan yang memfasilitasi pemberangkatan tidak menanggung biaya tersebut.
Menurut Muhammadun, pungutan itu awalnya akan ditarik dari majikan setelah TKI resmi bekerja di Malaysia, namun pada kenyataannya semuanya dibayarkan di Indonesia, melalui perbankan tanpa ada bukti penerimaan.
"Akibat dari berbagai pungutan itu, biaya penempatan calon TKI membengkak menjadi Rp7,5 juta, sebelumnya hanya Rp5 juta. Ini ibaratnya memeras calon TKI sebelum bekerja," ujarnya.
Selain harus membayar pengurusan "endorse" paspor dan pengambilan sidik jari, kata Muhammadun, ada juga perusahaan dari Malaysia yang akan menarik pungutan sebesar Rp420 ribu untuk pengurusan catatan hidup calon TKI.
Namun kebijakan itu ditolak oleh Apjati karena akan semakin memberatkan calon TKI, sehingga sampai saat ini belum resmi diberlakukan di seluruh daerah.
Segala permasalahan pungutan tersebut, katanya, sudah dikoordinasikan dengan pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi NTB, namun belum ada respons positif.
"Kami sudah bersurat ke kementerian dan Gubernur NTB, tapi belum ada tanggapan sampai saat ini," katanya.
Muhammadun mengkhawatirkan akan terjadi banyak warga negara Indonesia berangkat ke Malaysia untuk bekerja secara ilegal karena birokrasi dan beban biaya yang relatif mahal. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait:
Advertisement