Kemenangan Trump Pertanda Kembalinya Kejayaan Era Proteksionisme?
Kredit Foto: Reuters/Jonathan Ernst
"I want to tell the world community that while we will always put America's interests first, we will deal fairly with everyone, with everyone." Kalimat tersebut merupakan salah satu kutipan dari pidato kemenangan Donald Trump, setelah dirinya dipastikan memperoleh suara lebih dari 270 "electoral college" dalam Pemilu AS, atau dengan kata lain, Trump bakal menjadi Presiden AS berikutnya.
Pidato tersebut berupaya menyodorkan persatuan. Namun banyak yang mempertanyakan hal itu karena selama kampanyenya, Trump mendukung FBI untuk menyelidiki kasus penyalahan penggunaan surel Clinton saat menjabat sebagai Menteri Luar Negeri A.
Dunia juga masih mengingat beberapa pidatonya yang kontroversial, seperti keinginannya untuk membangun tembok di sepanjang perbatasan AS-Meksiko dan akan meminta Meksiko untuk membayar biaya pembangunan dindingnya, serta wacananya yang berupaya menghalangi masuknya warga Muslim ke dalam negeri Amerika Serikat.
Jadi, meski pidato kemenangan Trump bernada rekonsiliatif, tetapi banyak yang bersikap skeptis mengingat rekam jejak Trump selama ini.
Hal tersebut dicontohkan salah satunya oleh jurnalis media Guardian, Jonathan Freedland yang hari ini menulis artikel berjudul "The US has elected its most dangerous leader" (AS telah memilih salah satu pemimpinnya yang paling berbahaya).
Beragam alasan dikemukakan Freedland mengapa dirinya dan banyak orang di dunia mencemaskan Donald Trump berada dalam tampuk kepemimpinan AS, antara lain karena sosok Trump merupakan figur yang mengandung "ignorance, racism and misogyny" (ketidaktahuan, rasisme, dan kebencian terhadap perempuan).
Freedland mengingatkan mengenai janji-janji Trump, antara lain akan mendeportasi paksa sekitar 11 juta migran yang tidak memiliki dokumen yang diperkirakan merupakan enam persen dari tenaga kerja AS, serta wacananya untuk melarang seluruh Muslim memasuki negara AS yang dijanjikannya akan menjadi "hebat kembali".
Sang jurnalis juga menganalisis bahwa para pembela Trump mengatakan itu hanyalah ucapan sambil lalu saja saat kampanye, dan Trump akan berpindah lebih moderat dan lebih bersikap seperti presiden pada masa mendatang. Menarik untuk dilihat apakah benar demikian? Kecemasan lainnya adalah keyakinan Trump bahwa perubahan iklim adalah "hoax" (kabar bohong), serta keinginannya untuk menerapkan tarif yang besar terhadap produk-produk dari negara China, yang bisa memulai kembali perang dagang global.
TPP Bubar? Salah satu perjanjian ekonomi di masa mendatang yang kemungkinan bakal tidak terwujud adalah TPP (Kemitraan Trans-Pasifik), yang diusung pemerintahan AS di bawah Presiden Barack Obama.
TPP itu sendiri merupakan perjanjian perdagangan antara AS dengan 12 negara di kawasan Pasifik, yaitu Australia, Brunei Darussalam, Chili, Jepang, Kanada, Malaysia, Meksiko, Peru, Selandia Baru, Singapura, dan Vietnam.
TPP, yang telah ditandatangani 4 Februari 2016 setelah tujuh tahun negosiasi antara ke-12 negara tersebut, terancam bubar oleh pandangan yang dipegang Trump.
Dalam kampanyenya yang terdapat dalam sejumlah situs antara lain di www.breibart.com, Trump menyebutkan bahwa TPP merupakan "terrible deal" (perjanjian yang mengerikan).
Hal tersebut karena TPP dinilai bakal merugikan AS antara lain karena akan mengambil lapangan pekerjaan dari warga AS serta bakal merugikan neraca perdagangan Amerika.
Tidak hanya soal TPP, Trump juga ingin agar Amerika Serikat tidak lagi mengikuti NAFTA, atau perjanjian perdagangan bebas di kawasan benua Amerika bagian utara yaitu antara AS, Kanada, dan Meksiko.
Seperti halnya TPP, NAFTA juga berisi deregulasi dan pelonggaran berbagai mekanisme perdagangan, seperti penurunan tarif bea masuk perdagangan.
Secara keseluruhan, sebenarnya pandangan Trump serupa dengan seruan antiglobalisasi yang telah diserukan banyak pihak dari kiri-kanan paradigma politik.
Globalisasi, menurut pandangan para kritiknya, hanya menguntungkan segelintir golongan dan mengakibatkan ketimpangan semakin mengemuka di banyak negara.
Namun yang mesti diingat, antitesa dari globalisasi dan perdagangan bebas adalah proteksionisme, yang merupakan kebijakan politik yang menghambat perdagangan antarnegara dengan sejumlah metode seperti meningkatkan tarif bea masuk dan penerapan kuota terhadap barang impor.
Para pendukung proteksionisme menilai bahwa langkah kebijakan ekonomi seperti itu mutlak diperlukan untuk meningkatkan kapabilitas dan daya saing industri dalam negeri yang baru berkembang, yaitu pada UKM lokal.
Mereka meyakini bahwa tanpa adanya kebijakan proteksi, industri UKM lokal akan mati dan menghilang karena tergilas oleh industri dari negara lain yang lebih maju dalam skala global.
Hal tersebut memang benar. Namun yang mesti diingat, bahwa saat ini kondisi ekonomi di berbagai negara tidak lagi hitam-putih, atau setiap negara hanya mengeluarkan kebijakan liberalisasi atau proteksionisme ekonomi saja.
Ambil contoh Amerika Serikat. Meski kebijakan Obama yang seperti proliberalisasi dengan kebijakan TPP, tetapi sebenarnya TPP dibuat untuk melindungi perekonomian AS dari masuknya produk dari Republik Rakyat China (negeri Tirai Bambu itu "dengan sengaja" tidak dimasukkan ke dalam TPP).
Selain itu, berdasarkan data lembaga Global Trade Watch, AS termasuk negara yang teratas peringkatnya dalam menerapkan kebijakan yang disebut sebagai proteksionis.
Kebijakan itu antara lain dapat dilihat dari kebijakan subsidi yang sangat besar dari pemerintah AS kepada sektor pertaniannya, serta adanya poin mengenai "Buy American" atau dahulukan membeli produk AS dalam paket kebijakan ekonomi negara adidaya itu.
Sejarah Ekonom-sejarawan AS Bruce Reeves Bartlett (yang pernah duduk di pemerintahan George W Bush tetapi kemudian berbalik menjadi penentang sejumlah kebijakan Bush), menulis artikel berjudul "Free Trade Vs. Protectionism: Why History Matters" di media www.thefiscaltimes.com.
Dalam artikel itu, dia menyebutkan bahwa sejak zaman Bapak Ekonomi Modern Adam Smith, ekonom telah mengetahui bahwa perdagangan bebas adalah kebijakan terbaik, serta dukungan terhadap proteksionisme, adalah cara pendekatan populis yang dilakukan oleh politisi untuk menjaring suara.
Dia mengingatkan kasus tarif Smoot-Hawley pada tahun 1930, di mana UU Tarif Smoot-Hawley mengakibatkan kenaikan tarif impor sejumlah komoditas bahkan hingga 50 persen, dengan tujuan melindungi produksi petani lokal terhadap komoditas pertanian impor.
Dengan menaikkan tarif impor yang sedemikian tinggi, ternyata membuat negara-negara lain menjadi marah dan juga menerapkan kebijakan serupa yaitu meningkatkan tarif bea masuk di negara mereka masing-masing terhadap produk AS.
Bahkan sebelum UU itu diberlakukan, pada September 1929, pemerintahan AS telah menerima surat protes dari 23 negara mitra perdagangan, yang mencakup ancaman untuk melakukan tindakan serupa.
Pada Mei 1930, Kanada, negara tetangga Amerika, meluncurkan kebijakan tarif baru terhadap 16 produk yang secara keseluruhan merupakan 30 persen dari ekspor AS ke Kanada.
Prancis dan Inggris Raya juga menyatakan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan proteksionisme AS, dan mereka mengembangkan perdagangan baru dengan mitra baru selain AS.
Akibatnya dapat diduga, jumlah perdagangan dunia menurun sekitar 66 persen dalam jangka waktu lima tahun antara tahun 1929-1934.
Bartlett menyatakan, meski ekonom masih berbeda pendapat mengenai dampak UU Smoot-Hawley, tetapi hal tersebut bukanlah merupakan gagasan bagus yang perlu diulang.
Mengkaji globalisasi Sebenarnya fenomena Trump merupakan akibat dari ketidaksukaan banyak pihak pascakrisis finansial 2008, yang beranggapan bahwa krisis global itu disebabkan oleh merebaknya globalisasi, kata lain dari liberalisasi perdagangan.
Fenomena pemilihan Trump juga dapat dicerminkan kepada peristiwa referendum Brexit, yaitu adanya pemilihan di antara warga Inggris Raya yang memutuskan bahwa mayoritas memilih meninggalkan Uni Eropa.
Menariknya dapat dilihat bahwa mereka yang memilih setuju kepada Brexit lebih banyak berada di kawasan-kawasan pedesaan dan yang tergolong daerah dengan tingkat penghasilan di bawah rata-rata, sedangkan mereka yang tidak setuju Brexit rata-rata berada di kota besar dengan penghasilan di atas rata-rata.
Begitu pula dengan pemilihan Presiden AS, di mana negara bagian yang "kaya" seperti California dan New York lebih memilih Clinton (yang dianggap bukan sebagai sosok proteksionis), dibandingkan dengan negara-negara bagian lain yang memiliki tingkat pendapatan lebih rendah yang lebih memilih Trump (figur proteksionis).
Kejadian seperti Brexit dan terpilihnya Trump menjadi Presiden AS dapat dilihat sebagai dampak ketidakpuasan terhadap globalisasi selama ini.
Memang diakui bahwa globalisasi pada intinya adalah membuka kesempatan lebih besar kepada perdagangan internasional, atau antarnegara dalam tataran global.
Untuk itu, biasanya pasar bebas hanya menguntungkan mereka yang memiliki kesempatan untuk ekspor-impor. Namun masalahnya, ekspor-impor cenderung kerap dilakukan di kawasan industri besar atau wilayah yang berdekatan dengan pusat finansial suatu negara (biasanya adalah ibukota itu sendiri).
Yang juga perlu diingat, globalisasi juga membuat perpindahan modal menjadi lebih pesat, yang dicontohkan dengan membuat perbankan lebih banyak meminjam dari bank luar negeri dengan bunga yang rendah, dan menggunakannya untuk beragam program kredit kepada masyarakat.
Dampak yang paling parah adalah dalam investasi properti, karena beberapa negara terbukti mengalami resesi atau krisis ekonomi salah satunya juga disebabkan oleh semakin banyaknya warga yang menggunakan KPR dengan kredit bermasalah.
Perpindahan modal juga membuat perusahaan biasanya menginvestasikan sesuatu di negara lain bukan lagi dalam bentuk sektor yang riil seperti pabrik baru atau membuka lapangan pekerjaan baru, tetapi diduga ada modus yang membuat suatu perusahaan multinasional berinvestasi dengan tujuan menghindari pajak yang lebih besar di negara asal.
Dengan globalisasi yang pesat membuat hanya perusahaan multinasional yang siap saja yang dapat mengambil keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan lainnya.
Hal ini membuat banyak perusahaan besar yang semakin besar, sedangkan UKM semakin susah untuk menjadi perusahaan besar.
Untuk itu, kebijakan berbagai pemerintah di dunia, termasuk Republik Indonesia, juga harus dapat memastikan bahwa bukanlah semata-mata mengikuti liberalisasi atau hanya mengikuti proteksionisme, tetapi perlu dipikirkan kebijakan yang benar-benar meningkatkan kesejahteraan rakyatnya secara nyata dan merata. (Ant/Muhammad Razi Rahman)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait:
Advertisement