Kasus dugaan penistaan agama dengan tersangka Gubernur DkI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) akan memasuki sidang perdana pada Selasa (13/12/2016) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara.
Persidangan ini akan dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto dan empat hakim anggota yang mendampinginya, yakni Jupriadi, Abdul Rosyad, Joseph V. Rahantoan dan I Wayan Wirjana.
Kasus dugaan penistaan agama ini merupakan kasus sensitif yang banyak menyita perhatian publik apalagi setelah sidang perdana untuk kasus ini telah dijadwalkan.
Alasan inilah yang membuat Komisi Yudisial (KY) mengimbau masyarakat dan berbagai pihak terkait agar menjaga ketertiban persidangan dugaan penistaan agama ini.
KY mengimbau masyarakat supaya menghormati peradilan si Indonesia, termasuk untuk kasus ini.
Komisi Yudisial mengimbau kepada seluruh pihak agar menjaga ketertiban persidangan dan menyampaikan apapun aspirasinya secara proper dan terukur, serta tidak menyerang individu, ujar juru bicara KY Farid Wajdi di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Apapun hasil putusannya, KY mendesak siapapun yang tidak setuju atau berkeberatan dengan hasil putusan supaya mengemukakan aspirasinya dengan menggunakan jalur yang telah diatur.
Bila terkait dengan substansi putusan maka jalur upaya hukum adalah jawabnya, baik jalur banding, kasasi, atau bahkan peninjauan kembali (PK).
Sementara jika diduga terhadap pelanggaran kode etik yang dilakukan Hakim, maka gunakan mekanisme pelaporan yang berlaku baik di KY maupun Mahkamah Agung (MA).
Berbagai tindakan di luar pakem yang direkomendasikan oleh KY disebutkan Farid berpotensi menciderai tujuan penegakan hukum itu sendiri.
Berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada Komisi Yudisial melalui UU Nomor 18 Tahun 2011, mengenai tindakan hukum dan tindakan lainnya, KY jelas berhak untuk melakukan pengawalan terhadap kasus ini.
Pemantauan atas kasus ini juga dapat dilakukan oleh KY baik secara terbuka maupun tertutup. Kendati demikian demi menjaga kehormatan dan kemandirian persidangan, Farid mengatakan apapun temuannya akan diproses setelah semua proses hukum selesai.
Siaran Langsung Kasus yang menyita perhatian masyarakat ini tentu dapat menjadi peluang bagi stasiun televisi untuk mengambil keuntungan dengan menayangkan jalannya persidangan secara langsung.
Wacana pelaksanaan sidang siaran langsung atas kasus ini kemudian membuat KY merasa perlu menanggapi dari berbagai perspektif.
Dari perspektif asas hukum yang berlaku secara universal adalah setiap sidang pada prinsipnya terbuka untuk umum, jelas Farid.
Pasal 13 UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali bila ada undang-undang menentukan lain.
Ketentuan dalam pasal 64 dan Pasal 153 ayat (3) Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) juga menyebutkan bahwa terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum dan juga untuk kepentingan pemeriksaan sidang harus dinyatakan terbuka untuk umum.
Peradilan hanya dilakukan tertutup jika menyangkut perkara kesusilaan atau menyangkut perkara yang dimintakan untuk tidak terbuka karena alasan tertentu, semisal ketika anak berkonflik dengan hukum baik sebagai pelaku, korban maupun saksi.
Tetapi apakah sidang terbuka itu identik dengan menyiarkan secara langsung melalui siaran televisi. Dengan begitu tentu semua orang tanpa terkecuali dengan mudah dapat menyaksikan jalannya persidangan di televisi.
Hal ini mendapat catatan tersendiri dari KY, mengingat pengalaman kasus sebelumnya yang disidangkan secara langsung melalui stasiun televisi swasta nasional.
Persidangan yang disiarkan secara langsung ini dinilai KY justru berpotensi menimbulkan masalah baru yang berkaitan dengan independensi peradilan dengan opini publik.
KY menilai setidaknya ada empat potensi masalah yang dapat muncul bila sidang disiarkan secara langsung di stasiun televisi.
Potensi masalah yang pertama dikatakan Farid dapat berekses pada penghakiman oleh masyarakat.
"Eksesnya baik pada kemandirian hakim, pengadilan maupun pada kasus itu sendiri," jelas Farid.
Padahal martabat dan kehormatan suatu pengadilan serta hakim harus dijaga, sehingga sakralitas pengadilan sebagai benteng keadilan tetap dapat ditegakkan, jelas Farid.
Potensi masalah yang kedua dengan adanya siaran langsung persidangan adalah semakin membuka polemik ruang hukum bagi para pakar hukum di luar ruang persidangan.
Polemik atau perang opini secara terbuka dalam kasus sensitif seperti ini perlu dihindari, kata Farid.
Selanjutnya adalah siaran langsung yang tentu secara otomatis tidak menggunakan sensor, padahal proses dan fakta persidangan dimungkinkan terjadi.
Apalagi dalam kasus sensitif seperti kasus dugaan penistaan agama ini dikhawatirkan memiliki dimensi susila yang tidak sesuai dengan kepatutan untuk dipublikasi secara terbuka.
Potensi masalah yang terakhir menurut KY terkait dengan pemeriksaan saksi. Dalam ketentuan, pemeriksaan saksi harus diperiksa satu per satu untuk masuk ke ruang sidang.
Pemeriksaan saksi menurut Pasal 160 ayat (1) huruf a KUHAP, saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang, ujar Farid.
Saksi tidak diperbolehkan saling mendengarkan keterangan, dengan tujuan untuk menghindari saksi saling memengaruhi. Padahal saksi seharusnya memberikan keterangan yang sesuai fakta yang terjadi, sebagaimana yang mereka dengar sendiri, mereka lihat sendiri, atau mereka alami sendiri.
"Jika ada siaran langsung tentu keterangan antar para saksi sudah tiada sekat lagi," jelas Farid.
Namun KY menyatakan tidak dalam posisi menghalangi akses publik atas asas keterbukaan informasi dan akuntabilitas pada proses persidangan.
KY kemudian mengimbau supaya sidang yang terbuka untuk umum, dan kemudian dilakukan siaran langsung tetap harus menghormati norma beracara di peradilan dan itu tetap menjadi tuntunan semua pihak.
Begitupula dengan akses untuk mendapatkan akses informasi secara bebas dan bertanggungjawab juga harus diakomodasi.
"Hak masyarakat ditempatkan sebagai prioritas," kata Farid.
Kendati demikian, siaran langsung persidangan tanpa batas tentu dapat mengganggu independensi dan objektivitas hakim serta berpotensi membelah opini dalam situasi yang tidak menguntungkan.
Dengan begitu, siaran langsung proses persidangan, harus ada kompromi yakni siaran langsung dapat dilakukan tetapi terbatas, kata Farid.
Artinya siaran langsung persidangan tetap dilakukan namun hanya pada bagian-bagian tertentu seperti pada pembacaan tuntutan, pledoi dan pembacaan putusan.
Untuk pemeriksaaan saksi atau hal-hal lain yang tidak patut disiarkan langsung sepatutnya tidak dilakukan siaran langsung, kata Farid menambahkan.
Walaupun siaran langsung bersifat terbatas tidak berarti bahwa sidang itu tidak dilakukan secara sungguh-sungguh, karena disiarkan secara langsung ataupun tidak persidangan haruslah tetap berjalan dengan profesional dan proses pembuktiannya tunduk pada hukum yang berlaku. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait:
Advertisement