- Home
- /
- New Economy
- /
- Energi
Kebijakan Kementerian ESDM Terkait Tarif EBT Undang Keprihatinan Investor
Kebijakan Kementerian ESDM dalam menerapkan tarif energi baru terbarukan (EBT) akan mengundang keprihatinan para investor, kata Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma. "Asosiasi menyampaikan prihatin dengan Permen itu. Artinya Permen tersebut memang perlu dievaluasi," lanjut Surya dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu (5/2/2017).
Surya Darma mengatakan pembatasan tarif EBT sebesar maksimal 85 persen dari Biaya Pokok Produksi (BPP), mengulangi kebijakan serupa yang pernah gagal. Pembatasan tarif EBT tersebut pernah diberlakukan melalui pada 2008.
"Ketika itu, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan tentang pembatasan yang besarnya juga 85 persen dari BPP. Nyatanya, Permen itu gagal dan akhirnya diganti. Jadi sulit dimengerti, mengapa pemerintah sekarang justru mengulangi kegagalan tersebut," kata Surya.
Melalui Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan untuk Penyediaan Listrik, pemerintah menetapkan patokan harga maksimal untuk listrik dari tenaga matahari, angin, air, biomassa, biogas, sampah, dan panas bumi.
Keprihatinan investor, menurut Surya, karena ketidakjelasan pemerintah dalam menetapkan pembatasan tersebut. Selain kondisi yang berbeda antara satu daerah dan daerah lain, besaran BPP akan selalu berubah dari waktu ke waktu.
Di sisi lain, proses pembangunan tersebut tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Untuk komisioning saja, kata dia, baru bisa dilakukan tiga-empat4 tahun mendatang.
"Kalau sudah demikian, BPP mana yang dihitung? Yang tiga-empat tahun akan datang atau yang sekarang? Kalau yang sekarang, berarti dihitung dari pembangkit yang dibangun sekitar 5-10 tahun lalu, dan itu sudah pasti biayanya lebih rendah," urainya.
Surya juga mempertanyakan, mengapa justru EBT yang harus dipangkas dan dianaktirikan. Padahal, melihat porsi EBT dalam sumber energi pembangkit pun sebenarnya sangat kecil. Saking kecilnya, kalau pun porsi EBT ditingkatkan, tentu pengaruh beban keuangan negara tidak terlalu besar.
"Pembatasan itu bertolak belakang dengan yang diberlakukan di berbagai negara. Di sana EBT mendapat insentif, perhatian khusus, yaitu 100 persen plus-plus, sedangkan di sini minus-minus," kata dia.
Sementara itu, pengamat energi Iwa Garniwa meyakini penurunan harga tarif listrik berbasis EBT, akan membuat investor kembali menghitung skala keekonomian. Tentu saja hal ini disayangkan, karena minat investasi sektor EBT selama dua tahun terakhir sebenarnya mulai membaik, seiring arah pemerintahan yang jelas dan terukur.
"Minat energi terbarukan ini cukup tinggi. Tetapi dengan cara harga seperti itu, minat ini turun lagi. Kalau mau mengandalkan swasta, mana ada yang mau," jelas Iwa.
Iwa menambahkan untuk mendorong pengembangan energi terbarukan, pemerintah seharusnya mengobral insentif secara bertahap dan berkala. "Kalau ingin mengembangkan renewable energy, bukan ditetapkan harga seperti itu tetapi berikan subsidi supaya berkembang pelan-pelan," kata Iwa. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Advertisement