Direktur Eksekutif Pengembangan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Dedi Mulyadi mengungkapkan keberadaan Kawasan Industri Morowali telah berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi daerah maupun nasional. Dampak pesatnya pengembangan Kawasan Industri Morowali, kontribusi pajak diproyeksikan terus meningkat. "Penerimaan pajak akan mencapai Rp2 triliun hingga Rp3 triliun per tahun setelah 2022," kata Dedi, di Makassar, Kamis, (2/3/2017).
Berdasarkan data yang dihimpun Warta Ekonomi, pendapatan per kapita Morowali pada 2015 hanya berkisar US$8.702 atau setara Rp114 juta. Diproyeksikan pendapatan per kapita Morowali akan melonjak mencapai US$35 ribu atau setara Rp458 juta pada 2022. PDRB Sulteng pun diyakini ikut terdongkrak dari Rp90,2 triliun pada 2014 menjadi Rp233,26 triliun pada 2022. "Diperkirakan laju pertumbuhan ekonomi di Sulteng tembus 15-17 persen."
Dedi menerangkan bila laju pertumbuhan ekonomi Sulteng diproyeksikan mencapai belasan persen, laju pertumbuhan Morowali lebih 'gila' yakni berkisar 30-35 persen. Untuk PDRB Morowali diperkirakan melonjak dari Rp7,5 triliun pada 2014 menjadi Rp137,87 triliun pada 2022. PAD yang dihasilkan diproyeksikan bisa meningkat dari Rp25,3 miliar pada 2015 menjadi Rp246,3 miliar pada 2022.
Menurut Dedi, nilai tambah yang dihasilkan sejumlah pabrik smelter dan pengolahan logam lainnya di Morowali pun diperkirakan meroket. Pada 2016, nilai tambah yang dihasilkan di Kawasan Industri Morowali sudah menembus Rp16,5 triliun. Pihaknya memperkirakan nilai tambah pada 2022 mencapai Rp226,9 triliun.
Guna mendorong akselerasi pengembangan Kawasan Industri Morowali, Dedi mengatakan berbagai infrastruktur penunjang telah dan sedang dibangun. Di antaranya yakni pembangunan bandara, pelabuhan, perumahan dinas berupa apartemen, rumah sakit dan sekolah. Untuk pembangunan bandara khusus akan dimulai pada tahun ini dan ditargetkan tuntas pada 2018 mendatang.
Direktur Jendral Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika Kementerian Perindustrian (Kemenperin) I Gusti Putu Suryawirawan mengatakan Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan industri smelter berbasis logam karena termasuk dari 10 besar negara di dunia dengan cadangan bauksit, nikel, dan tembaga yang melimpah.
?Untuk pengembangan industri berbasis mineral logam khususnya pengolahan bahan baku bijih nikel, saat ini difokuskan di Kawasan Timur Indonesia. Misalnya, di Kawasan Industri Morowali (Sulteng), Kawasan Industri Bantaeng (Sulsel) dan Kawasan Industri Konawe (Sultra),? ujar dia.
Diketahui, Kawasan Industri Morowali seluas 2.000 hektar dikelola oleh PT IMIP. Kawasan terintegrasi tersebut akan menarik investasi sebesar USS6 miliar atau mencapai Rp78 triliun dengan menyerap tenaga kerja langsung sekitar 20 ribu orang dan tidak langsung sebanyak 80 ribu orang.
Selanjutnya, Kawasan Industri Bantaeng memiliki luas 3.000 hektare yang diperkirakan akan menarik investasi sebesar USS5 miliar atau setara Rp 55 triliun, dengan Harbour Group bertindak sebagai investor. Sedangkan, untuk Kawasan Industri Konawe diprediksi akan menarik investasi sebanyak Rp28 triliun. Bertindak sebagai anchor industry di kawasan ini adalah Virtue Dragon Nickel Industry, dengan penyerapan tenaga kerja sekitar 18 ribu orang.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Tri Yari Kurniawan
Editor: Sucipto
Tag Terkait:
Advertisement