Meski masih menyimpan pertanyaan namun pengusaha kehutanan menyatakan siap berkoordinasi untuk menjalankan kebijakan terkait tata kelola dan restorasi gambut guna mencegah kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto di Jakarta, Selasa (21/3/2017), mengatakan terkait dengan peraturan-peraturan mengenai pengelolaan lahan gambut asosiasinya akan mengkoordinasikan penerapannya di lapangan dengan pemegang izin.
"Sekiranya ada kendala dalam penerapannya, maka APHI akan mengkonsultasikan solusinya lebih lanjut dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan secara kasus per kasus," kata Purwadi.
Sebelumnya dalam sosialisasi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) terkait Tata Kelola Gambut di Manggala Wanabakti, Sekjen KLHK Bambang Hendroyono mengatakan fokus yang dilakukan saat ini adalah percepatan kerja lapangan untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) gambut di 2017.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas PP Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, lanjutnya, ditambahkan bagaimana perlindungan gambut dari karhutla dan praktik pengelolaan harus benar dilakukan oleh semua pihak termasuk perusahaan.
Direktur Jenderal (Ditjen) Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Karliansyah mengatakan bersamaan Permen LHK yang mengatur tata cara inventarisasi dan penetapan fungsi ekosistem gambut, tata cara pengukuran muka air tanah di titik penaatan ekosistem gambut, pedoman teknis pemulihan fungsi ekosistem gambut dan perubahan atas Permen LHK terkait pembangunan hutan tanaman industri juga ada sudah ditetapkan peta Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) nasional dan peta fungsi ekosistem gambut nasional.
Selain perpegang pada Permen LHK maka teknis pelaksanaan restorasi perusahaan di lapangan juga harus mengacu pada kedua peta tersebut, ujar dia. Karenanya, semua pemegang konsesi harus memiliki peta indikatif KHG nasional dan fungsi ekosistem gambut nasional tersebut.
Berdasarkan peta tersebut, Karliansyah mengatakan Indonesia memiliki 865 KHG. Ada 207 di Sumatera (9,6 juta hektare/ha), 190 di Kalimantan (8,4 juta ha), tiga di Sulawesi (63.290 ha), dan 465 Papua (6,5 juta ha), sehingga dari segi total keseluruhan luasan KHG mencapai 24.667.804 ha.
Kawasan gambut yang memiliki fungsi lindung di Sumatera mencapai 4,9 juta ha sedangkan budidaya 4,6 juta ha, di Kalimantan fungsi lindung mencapai 4,01 juta ha sedangkan budidaya mencapai 4,31 juta ha, di Sulawesi kawasan dengan fungsi lindung mencapai 8000 ha sedangkan budidaya mencapai 3400 ha budidaya, sementara di Papua kawasan dengan fungsi lindung 3,29 juta ha dan 3,3 juta ha merupakan kawasan budidaya.
Ia juga menyebut total luas kawasan kawasan gambut di 100 Hutan Tanaman Industri (HTI) mencapai 2,64 juta ha, di mana fungsi lindungnya mencapai 1,427 juta ha.
Fungsi lindung ekosistem gambut minimal 30 persen dari seluruh KHG, serta terletak pada puncak kubah gambut dan sekitarnya. Tetapi jika ada ketebalan gambut lebih dari tiga meter, plasma nutfah endemik, spesies dilindungi, ada ekosistem gambut yang sebelumnya sudah ditetapkan sebagai ekosistem lindung maka secara otomatis kembali ke fungsi lindung.
"Aturan ini sebenarnya tidak baru, karena kalau kembali ke Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung maka jelas diputuskan ketebalan gambut tiga meter otomatis jadi kawasan lindung," ujar dia.
Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead mengatakan instrumen kebijakan terkait tata kelola gambut yang baru diundangkan yakni PermenLHK P.14/2017 tentang Tata Cara Inventarisasi dan Penerapan Fungsi Ekosistem Gambut, PermenLHK P.15/2017 tentang Tata Cara Pengukuran Muka Air Tanah di Titik Penaatan Ekosistem Gambut.
Selanjutnya PermenLHK P.16/2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut, serta PermenLHK P.17/2017 tentang Perubahan P.12/2015 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) menjadi pedoman yang membantu kerja pemulihan gambut di lapangan mulai dari pembuatan rencana restorasi, menentukan wilayah restorasi, memilih cara pembasahan, revegetasi, pemantauan restorasi.
Termasuk untuk penetapan peta indikatif nasional, ia mengatakan juga menjadi penting. Karena dasar peta indikatif yang digunakan BRG maupun KLHK sama maka jika ada perusahaan yang harus melakukan restorasi di 95 persen lahannya berdasarkan peta indikatif nasional kemungkinan akan sama dengan apa yang tertera di peta BRG. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait:
Advertisement