Pengamat ekonomi James Adam mengatakan, utang negara di luar negeri sampai dengan Juni 2017 sebesar Rp3.706,52 triliun atau meningkat sebesar Rp34,19 triliun dibandingkan bulan sebelumnya, belum berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat di Indonesia.
"Pemerintah mencatat posisi utang negara sampai dengan Juni 2017 sebesar Rp3.706,52 triliun atau meningkat sebesar Rp34,19 triliun dibandingkan bulan sebelumnya, yang berasal dari penerbitan SBN (neto) sebesar Rp35,77 triliun dan pelunasan pinjaman (neto) sebesar Rp1,59 triliun, namun belum dengan peningkatan kesejahteraan atau tak sejalan dengan pengentasan kemiskinan," katanya di Kupang, Sabtu (22/7/2017).
Ia mengatakan hal itu terkait utang luar negeri hingga Juni 2017 sebesar 3600 triliun dan manfaatnya untuk pembangunan infrastruktur dan meningkatkan laju ekonomi dan mengurangi kesenjangan di masyarakat. Data yang dilansir Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kamis (20/7/2017), menyebutkan utang tersebut terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp2.979,50 triliun atau 80,4 persen dan pinjaman sebesar Rp727,02 triliun atau 19,6 persen.
Penambahan utang neto 2017 sampai dengan Juni 2017 adalah sebesar Rp191,06 triliun yang berasal dari kenaikan SBN sebesar Rp198,89 triliun dan pelunasan pinjaman mencapai sebesar Rp7,83 Triliun.
"Tambahan pembiayaan utang memungkinkan kenaikan belanja produktif di bidang pendidikan, infrastruktur, kesehatan, transfer ke daerah dan dana desa, serta belanja sosial," jelas James Adam mengutip keterangan Kemenkeu.
Sementara kata James Adam, Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan Indonesia masih menyisakan penduduk miskin sebanyak 27,77 juta atau 10,64 persen dari total penduduk. "Artinya bertambahnya utang Indonesia tak sejalan dengan pengentasan kemiskinan," katanya.
Anggota IFAD (International Fund for Agricultural Development) untuk program pemberdayaan masyarakat pesisir NTT itu harus diakui juga digunakan untuk pembangunan sektor-sektor prioritas kebutuhan masyarakat seperti pembangunan infrastruktur. Utang Indonesia belum begitu dirasa dalam mengurangi penduduk miskin lantaran utang difokuskan untuk membangun infrastruktur.
"Utang pemerintah itu kan banyak arahnya ke infrastruktur. Tergantung tahapnya kalau infrastruktur itu, kalau tahapnya baru pinjaman tapi belum ada pembangunan tentu tidak akan menurunkan (kemiskinan)," katanya.
Sehingga harus mendukung kebijakan pemerintah untuk menarik utang lebih awal (prefunding) untuk membiayai kebutuhan belanja pemerintah yang prioritas seperti infrastruktur untuk meningkatkan laju ekonomi dan mengurangi kesenjangan di masyarakat.
Apalagi kalau tujuannya untuk memenuhi kebutuhan belanja transfer ke daerah, Dana Alokasi Umum (DAU) yang tertunda, gaji pegawai, dan beberapa belanja yang sudah terjadwal sejak Januari 2017, sehingga perlu ada dukungan dari pihak lainnya terhadap kebijakan itu. Pembangunan infrastruktur juga akan membuat harga menjadi lebih baik/stabil, tenaga kerja terserap, pengangguran dan kemiskinan turun.
Bukan cuma itu, utang yang besar itu juga bermanfaat bagi pembangunan infrastruktur untuk membuka isolasi masyarakat di perbatasan dan daerah tertinggal. Meskipun demikian, utang Indonesia dibandingkan dengan PDB masih di bawah batas aman dan berada di bawah rasio utang negara-negara maju lainnya.
Sehingga menurut dia, kebijakan "prefunding" tidak perlu dikuatirkan karena tujuannya jelas yaitu membiayai kebutuhan belanja pemerintah di tahun 2017.
"Ketika pembangunan sudah berjalan, maka imbasnya akan mengarah kepada pengurangan angka kemiskinan di Indonesia. Sebab dengan ditopang infrastruktur maka perekonomian akan bergerak," katanya.
Mantan dosen Universitas Kristen Artha Wacana Kupang itu mengaku mengapresiasi Pemerintah melalui Kemenkeu yang memiliki komitmen secara berkesinambungan dalam hal pembayaran kewajiban utang sebagai konsekuensi pembiayaan defisit APBN tahun berjalan dan periode sebelumnya.
Buktinya pembayaran kewajiban utang di Juni 2017 mencapai sebesar Rp26,89 triliun, terdiri dari pembayaran pokok utang yang jatuh tempo sebesar Rp18,91 triliun dan pembayaran bunga utang sebesar Rp7,98 triliun.
Indikator risiko utang pada Juni 2017 menunjukkan bahwa rasio utang dengan tingkat bunga mengambang (variable rate) sebesar 11,2 persen dari total utang, sedangkan dalam hal risiko tingkat nilai tukar, rasio utang dalam mata uang asing terhadap total utang adalah sebesar 40,8 persen. (CP/Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Advertisement