Terparah Wakil Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor Mahmud Syaltout menilai bahwa peristiwa Rohingya merupakan tragedi kemanusiaan terparah di kawasan Asia Tenggara saat ini.
Kekerasan itu diduga dilakukan oleh tangan negara, baik aparat militer, keamanan, kepolisian, maupun pemerintahan Myanmar.
Setidaknya, didasarkan pada laporan penginderaan satelit oleh UNOSAT maupun HRW, terdapatnya pola-pola (patterns) serangan terhadap desa-desa etnis Rohingya yang memang telah ditargetkan.
Gerakan Pemuda Ansor mengkaji dengan saksama, khususnya secara geopolitik, mengapa terjadi insiden serangan dengan menargetkan wilayah-wilayah yang dihuni etnis Rohingya pada 2013, kemudian pada 2016, dan makin menguat pada 2017, dengan intensifikasi jumlah korban dan jenis kekejian yang dilakukan.
Ia menilai tragedi kemanusiaan terhadap etnis Rohingya merupakan konflik geopolitik, khususnya pertarungan kuasa dan kekuasaan (yang tak seimbang) di daerah Arakan-Rakhine, yang dihuni mayoritas etnis Rohingya, dengan dugaan kuat didasarkan pada perebutan secara paksa tanah dan sumber daya, khususnya minyak dan gas.
Blok-blok minyak dan gas di Semenanjung Rakhine dilaporkan memiliki cadangan terbukti sebesar 7,836 triliun kaki kubik gas dan 1,379 miliar barel minyak.
Beberapa blok di antaranya berproduksi sejak 2013, ditawarkan tahun ini sebagai temuan baru, dan beberapa blok lainnya jatuh tempo kontraknya pada 2017.
Blok-blok minyak dan gas di daratan Arakan, di mana North Petro-Chem Corp (China), Gold Petrol (Myanmar), Interra Resources (Singapura), Geopetrol (Prancis), Petronas Carigali (Malaysia), Petroleum Brunei (Brunei), IGE Ltd. (Inggris), EPI Holdings (Hongkong/China), Aye Myint Khaing (Mynmar), PTTEP (Thailand), MOECO (Jepang), Palang Sophon (Thailand), WIN Resources (Amerika Serikat), Bashneft (Russia), A1 Construction (Myanmar), Smart Technical Services (Myanmar), Myanmar Petroleum Resources (Myanmar), dan ONGC (India) beroperasi dan berproduksi.
Di daerah tersebut dilaporkan memiliki cadangan terbukti sebesar 1,744 triliun kaki kubik gas dan 1,569 milyar barel minyak, yang beberapa blok di antaranya jatuh tempo kontraknya pada 2017.
Ia mengatakan konflik geopolitik yang sangat berdarah di daerah-daerah kaya sumber daya alam, khususnya minyak dan gas (Oil & Gas Blood) atau kutukan sumber daya (resource curse) bukan fenomena khas Myanmar, dan bukan hanya menimpa etnis Rohingya, tetapi juga terjadi di belahan bumi yang lain.
"Di mana untuk menutup operasi apropriasi kapital dan sumber daya secara menjijikkan operator-operator di lapangan membungkus dan atau menutupnya dengan konflik antaretnis, antaragama, antarkelompok masyarakat, dengan tujuan agar akar maupun persoalan sebenarnya menjadi kabur dan tersamar," kata dia.
Penyelesaian kasus Rohingya akan menjadi sulit, terlebih melihat banyaknya pihak, negara, dan korporasi yang berkepentingan terhadap penguasaan aset, kapital, maupun sumber daya di daerah-daerah tersebut.
Pemerintah Indonesia diminta lebih aktif bersuara dan cenderung memimpin aliansi mitra dialog dan diplomasi hak asasi manusia (human rights diplomacy) mengingat posisi Indonesia yang cenderung netral dari kepentingan geopolitik di wilayah tersebut.
"Indonesia secara tegas dalam konstitusi menghendaki agar penindasan di muka bumi harus dihapuskan. Atas dasar itulah, Indonesia harus memimpin aliansi mitra dialog untuk menghentikan kekerasan terhadap etnis Rohingya," kata dia. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Fajar Sulaiman
Advertisement