Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai pemerintah perlu merevisi berbagai kebijakan yang tidak tepat yang berdampak kepada bidang pangan agar permasalahan ketersediaan serta harga pangan yang terjangkau bisa terwujud di Tanah Air.
"Sebagai negara dengan jumlah penduduk besar, Indonesia seharusnya melihat isu pertanian dan pangan bukan hanya dari sisi produsen, melainkan juga dari sisi konsumen," kata Kepala Penelitian CIPS Hizkia Respatiadi di Jakarta, Rabu (3/1/2018).
Menurut Hizkia, salah satu kebijakan pangan yang tidak tepat adalah anggaran senilai Rp52,2 triliun untuk subsidi pertanian.
Jumlah itu, ujar Hizkia, merupakan 2,5 persen dari total nilai APBN, dan dinilai tidak efektif untuk petani.
Ia mencontohkan subsidi pupuk, yang dinilai lebih banyak dinikmati oleh petani kaya yang memiliki memiliki lahan antara 0,75-2 hektare, padahal sasaran utama dari subsidi pertanian adalah para petani miskin.
"Subsidi yang berlebihan tanpa melihat kondisi pasar justru rawan disalahgunakan. Studi Bank Dunia menunjukkan hanya 21 persen petani penerima subsidi pupuk masuk dalam kategori petani kecil di Indonesia. Selain itu, hal ini juga membebani anggaran negara sehingga berpotensi membebani masyarakat dalam bentuk pajak," paparnya.
Hizkia juga menuturkan terkadang dalam beberapa kasus seperti cabai, subsidi tersebut juga berpotensi menciptakan overproduksi yang mengakibatkan kejatuhan harga sehingga akhirnya merugikan para petani sendiri.
Sebelumnya, CIPS juga menyatakan kebijakan restriksi atau pembatasan impor yang berlebihan ternyata tidak efektif dalam menurunkan harga pangan yang masih dibutuhkan oleh banyak warga.
"Pemerintah harus merevisi peraturan yang menghambat dan bersifat nontarif. Selain itu terkait kebijakan impor, untuk menghindarkan monopoli, pemerintah sebaiknya juga memberikan kesempatan kepada pihak lain di luar pihak yang itu-itu saja untuk mengimpor komoditas pangan," kata Hizkia.
Menurut dia, restriksi terhadap impor terutama terkait produk hortikultura, hewan dan juga turunannya dinilai tidak efektif untuk menurunkan harga di pasar.
Pemerintah, lanjut Hizkia, tidak perlu ragu untuk melibatkan diri ke dalam perdagangan internasional dan mengambil manfaat dari mekanisme pasar karena dengan mengikuti mekanisme pasar, harga komoditas pangan di Tanah Air yang akan lebih terjangkau.
Sebagaimana diwartakan, Pemerintah menyediakan paket-paket regulasi baru yang merelaksasi ketentuan tata niaga terkait impor bahan baku untuk keperluan industri kecil menengah (IKM) serta membuka kemudahan tata niaga impor barang IKM.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dalam jumpa pers di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Rabu (20/12), mengatakan bahwa sebelumnya pemerintah sudah mengeluarkan dua regulasi untuk komoditas tekstil dan produk tekstil (TPT) serta besi atau baja.
Mendag menjelaskan regulasi-regulasi baru memberikan relaksasi tata niaga impor barang IKM berupa pemberlakuan pola pengawasan "post-audit" dan kemudahan rekomendasi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil