Industri asuransi jiwa masih optimistis akan tumbuh menggembirakan di tahun ini. Industri ini memang berbeda dengan nasib beberapa industri lain, mereka sedang tergopoh-gopoh mempertahankan pertumbuhan bisnisnya agar menuai positif.
Berdasarkan laporan yang dirilis Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), total pendapatan industri asuransi jiwa mencapai Rp56,96 triliun selama kuartal I tahun 2017. Nilai tersebut tumbuh sebesar 16,4% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu sebesar Rp48,94 triliun.
Begitu pula dengan pendapatan premi yang tumbuh positif. Total pendapatan premi meningkat sebesar 25,5% dibandingkan periode yang sama pada tahun 2016. Adapun total pendapatan premi para kuartal I tahun 2017 mencapai sebesar Rp34,4 triliun.
Asuransi jiwa memang selalu tumbuh double digit. Selama 10 tahun terakhir, pendapatan premi asuransi jiwa tumbuh berkisar 10%—30%. Oleh sebab itu, industri ini pede akan tumbuh pada kisaran angka tersebut. Bahkan kita bisa meyakinkan, apa pun yang terjadi di Indonesia, industri asuransi jiwa akan berkembang dengan kisaran pertumbuhan sebesar angka tersebut. Itu yang selalu kita dengungkan setiap tahun, dan memang terbukti. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya industri asuransi jiwa di Indonesia tumbuh lebih baik dibandingkan dengan industri yang lain.
Namun ada catatan penting, pertumbuhan premi sebesar itu disumbang dari premi renewal, premi yang diperoleh dari tertanggung lama yang melanjutkan asuransi yang dimilikinya. Adapun premi new business tidak begitu banyak bila dibandingkan dengan harapan. Kontribusi dari premi renewal masih menjadi mayoritas, yakni sekitar 60% hingga 70%. Kontribusi yang besar dari tertanggung lama bukan pula menjadi berita buruk bagi perusahaan. Adanya premi yang diperoleh dari tertanggung lama mengindikasikan adanya keberlanjutan dari asuransi. Masyarakat sudah melihat asuransi sebagai kebutuhan sehingga mereka melakukan perpanjangan pembayaran premi lagi.
Ada catatan penting yang harus menjadi perhatian industri perasuransian Indonesia agar bisnis bergerak positif dalam berbagai zaman. Sumber daya manusia (SDM) dan teknologi informasi (TI) menjadi kunci agar bisnis mampu berjalan efisien. SDM yang mumpuni serta teknologi yang mengurai permasalahan perusahaan dan konsumen akan mengantarkan perusahaan menuju jenjang yang lebih tinggi.
Kemampuan SDM perasuransian harus tinggi. Kemampuan tersebut akan membentuk peningkatan kepercayaan asuransi di masyarakat menjadi jauh lebih cepat. Mulai dari 580 ribu orang agen asuransi yang menjadi ujung tombak hingga pegawai yang mengurus proses pencairan klaim. Semua bagian tersebut menentukan persepsi yang akan dibentuk oleh masyarakat. Oleh sebab itu, industri asuransi harus rajin mengevaluasi dan meningkatkan kapasitas serta kemampuan SDM perasuransian.
Perkembangan teknologi harus menjadi perhatian industri ini. Digitalisasi yang terjadi di berbagai bidang usaha harus bisa diimbangi oleh industri perasuransian di Indonesia. Masyarakat yang sudah semakin melek teknologi menuntut berbagai kemudahan yang berbasis digital. Memang, industri asuransi tidak bisa serta merta mengadopsi teknologi. Asuransi harus bertahap dalam memilah dan memilih teknologi yang cocok dengan industri ini.
Teknologi yang sesuai dengan karakter industri ini harus dianalisis secara tepat. Pasalnya, industri ini masih membutuhkan sentuhan manusia (SDM). Oleh sebab itu, kita tidak bisa serta merta menghilangkan peran SDM. Namun sekali lagi, asuransi harus siap dengan perkembangan teknologi. Artinya, industri ini harus bisa masuk ke sana. Kita bisa berkaca pada kejadian beberapa tahun lalu mengenai GOJEK dan Grab, but nobody worry. Tetapi nyatanya, tidak lebih dari lima tahun setelah itu booming. Artinya, asuransi juga harus mulai berpikir ke arah sana, seperti menjual asuransi lewat digital dan lain sebagainya.
Kita harus menyadari bahwa lima tahun ke depan, Generasi Y akan lebih memilih untuk membeli asuransi melalui jalur digital. Jika ingin menang di pasar ini, dalam lima tahun ke depan perasuransian harus berada di sistem yang diatur dengan digital, apps, atau channel distribusi yang berbasis teknologi lainnya.
Kita harus mulai bekerja dengan cara-cara perspektif masa mendatang, terlepas kondisi sekarang yang masih membutuhkan campur tangan agen dalam penjualan. Meskipun demikian, secara perlahan, tekonogi akan menggeser campur tangan manusia secara langsung dalam penjualan asuransi. Sepuluh tahun mendatang, generasi Y akan masuk ke industri ini. Kebutuhan mereka terhadap personal touch akan kurang. Oleh sebab itu, perlahan tampaknya akan mengurangi jumlah agen. Jumlah agen akan berkurang, tetapi tidak akan menghilangkan peranan agen itu sendiri. Barangkali, bentuk agen akan bertransformasi menjadi agen dalam bentuk yang lain.
Lantas, bagaimana dengan Asuransi Jiwasraya sebagai pemain perasuransian yang sudah berusia lebih dari 1,5 abad ini merespons fenomena digitalisasi? Beberapa tahun belakangan, Jiwasraya memang melakukan banyak improvement untuk TI. Penguatan yang dilakukan salah satunya ialah divisi TI yang sudah diisi oleh orang-orang profesional sehingga dapat mengikuti perkembangan zaman. Improvement TI yang dilakukan juga semakin kaya. Kalau dulu menggunakan TI hanya untuk database saja, sekarang sudah meluas untuk kepentingan lainnya yang bisa mempercepat bisnis Jiwasraya.
Rencananya, tahun ini Asuransi Jiwasraya akan launching apps. Tentunya besutan Jiwasraya tersebut akan disesuaikan dengan target pasar dan kesiapan konsumen asuransi di Indonesia. Berbicara TI, tentunya bukan berbicara investasi yang ringan, butuh investasi yang besar untuk mengembangkan TI. Tahun 2017, investasi TI Jiwasraya naik sekitar 30%—35%. Itulah keseriusan yang tercermin dari perusahaan ini.
Seiring perbaikan-perbaikan yang dilakukan oleh perusahaan, tentunya tidak lupa sebagai entitas bisnis harus menggairahkan bisnisnya. Asuransi jiwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini menargetkan bisa tetap berada di tiga besar industri dan harus memiliki aset mendekati atau minimum Rp50 triliun. Itulah goal besarnya. Sekarang ini, perusahaan sudah mendekati angka Rp46 triliun, harapannya bisa mencapai Rp50 triliun di akhir tahun ini. Adapun target pendapatan premi tahun ini mencapai Rp22,5—25 triliun sampai akhir tahun.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ratih Rahayu
Tag Terkait: