Kepala Bagian Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi menyatakan, keharusan impor komoditas garam tidak bisa dilepaskan dengan kualitas produksi garam yang dihasilkan oleh para petani lokal di Tanah Air.
"Keharusan untuk mengimpor tidak lepas dari belum mampunya para petani garam lokal untuk memenuhi kebutuhan para pelaku industri," katanya dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Rabu (24/1/2018).
Selain itu, menurut Hizkia, harga garam lokal juga dinilai lebih mahal daripada garam impor, sedangkan kualitas dari produksi petani garam masih berada di bawah garam impor.
Dia mengingatkan bahwa garam industri harus sekurang-kurangnya mengandung lebih dari 96 persen natrium klorida.
Hal tersebut, lanjutnya, juga belum mampu dipenuhi oleh garam produksi lokal.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan keputusan impor 3,7 juta ton garam industri diambil sesuai dengan kebutuhan yang mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS).
Ditemui di kompleks Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Selasa (23/1) malam, Darmin mengatakan pengambilan keputusan kebutuhan impor tersebut melibatkan antara lain Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan BPS.
"KKP bilang kebutuhannya 2,2 juta ton, tapi Kemenperin bilang 3,7 juta ton dan ada rinciannya. Saya tanya ke KKP, kebutuhan 2,2 juta ton bagaimana rinciannya? Ternyata dari BPS. Lalu saya tanya BPS angkanya berapa sebetulnya? Ternyata sebetulnya angkanya 3,7 juta ton," katanya.
Pemerintah telah menyatakan siap mengimpor 3,7 juta ton garam industri untuk memenuhi kebutuhan. Beberapa industri yang memerlukan garam tersebut antara lain sektor farmasi dan petrokimia.
Darmin menjamin impor garam industri tidak akan mengganggu produksi garam lokal karena komoditas dalam negeri hanya digunakan untuk konsumsi dan industri pengasinan ikan.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mempertanyakan keputusan pemerintah untuk mengimpor garam industri.
Sekretaris Jenderal Kiara Susan Herawati beranggapan impor garam oleh pemerintah diambil sebagai "jalan pintas" menghindari penyelesaian persoalan kualitas garam.
Ia berpendapat persoalan utama garam industri di Indonesia adalah kadar natrium klorida (NaCl) yang belum bisa mencapai angka di atas 97 persen, maka seharusnya pemerintah bisa menggandeng berbagai pihak guna mengatasinya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil