Berawal dari gemar mengikuti program volunteer di daerah tertinggal, Wynn Nathaniel Wijaya (25) melihat secara langsung kehidupan masyarakat yang belum tersentuh listrik. Rasa prihatin bercampur miris mendorong Wynn mencari solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Sekitar tahun 2015, digagas oleh Wynn dan hasil kolaborasi dengan mahasiswa dan dosen Fakultas Teknik Universitas Indonesia, lahirlah Weston Solar Energy, sebuah startup yang bergerak di bidang energi terbarukan. Dengan prinsip nilai-nilai socialpreneur, Wynn membawa Weston Energy untuk turut berkontribusi secara nyata menyalakan lampu di desa-desa terpencil.
Untuk mengetahui cerita lengkap Weston Solar Energy, tim redaksi Warta Ekonomi yang terdiri dari Cahyo Prayogo, Ratih Rahayu, dan Ning Rahayu, melakukan wawancara khusus dengan Wynn. Berikut ini petikan wawancaranya.
Apa yang menjadi dasar bisnis Weston Solar Energy?
Dulu tahun 2014, saya kuliah, tapi bukan di engineering. Waktu itu, saya ikut volunteer ke daerah timur. Kok masih ada daerah yang tidak ada listrik di Indonesia? Nah, saya melakukan riset. Oh, di Afrika dan India ada yang pakai solar panel. Nah, saya jadi tertarik untuk belajar.
Saya cari channel di UI. Kebetulan, saya ketemu dosen di UI. Background saya bisnis. Dosen itu suka dengan orang bisnis yang ingin belajar engineering. Dia mengajari saya. Seminggu sekali, saya ke sana. Sampai akhirnya, dia bilang "kamu ikut kelas saya saja, gratis".
Nah, saya jadi kenal dengan orang-orang yang tahu bidang ini. Singkat cerita, saya dapat tim di situ. Sekitar tahun 2015 akhir, saya dapat tim dua orang. Satu dosen dari Jerman, satu lagi murid di situ. Dari situ, kita jalan sampai sekarang. Pertama, dari konsultan lalu uji coba ke residensial juga. Hampir selalu mentok dan mentok. Tapi, akhirnya, kita menemukan bright side-nya, yakni akar masalah ada di efisiensi dan investasi. Dari situ, konsep kita semakin matang.
Adapun, dasar bisnis Weston Energy adalah inovasi di bidang produk dan sistem yang berhubungan dengan energi terbarukan. Jadi, dasarnya memang inovasi produk. Hanya saja, sebuah produk akan sulit terkomersialisasi atau teradopsi kalau tidak dikemas ke dalam sistem.
Sebenarnya, energi terbarukan lebih cocok ke daerah-daerah yang scatter. Scatter adalah daerah-daerah yang tidak bisa dijangkau oleh PLN sehingga permasalahan listrik di daerah tersebut harus diselesaikan oleh energi terbarukan. Cocoknya pakai energi terbarukan karena sistem energi terbarukan akan hidup di tempatnya dipasang.
Tapi, masalah energi terbarukan adalah butuh investasi yang tinggi. Kenapa butuh investasi tinggi? Misalnya, kalau hari ini ada matahari, besok tidak ada, listriknya tidak nyala. Makanya, harus ada baterai. Masalahnya, harga baterainya mahal, life time-nya cepat, dan cepat rusak. Berarti, masalahnya bukan dari energi terbarukan, melainkan dari sistemnya, bagaimana supaya efisien.
Contoh energi terbarukan adalah sinar matahari. Alat utama untuk mengubah sinar matahari menjadi energi bernama solar panel. Terus, ada baterai untuk menyimpan energi tersebut. Nah, di tengah-tengahnya ada satu alat, namanya inventer. Nah, inventer bertugas untuk menjaga stabilisasi listrik dan konversi listrik.
Energi terbarukan pasti pakai DC. Tapi, grid PLN itu AC. Nah, DC ini harus diubah jadi AC. Jadi, dari DC, masuk ke inventer untuk berubah jadi AC. Tapi, baterai itu menerimanya DC. Lalu, alat-alat kita menerimanya DC. Tapi, karena PLN pakai AC, diubahlah jadi AC. Makanya, lost energy-nya banyak. Kalau lost-nya banyak, menyimpan energinya sedikit.
Makanya, kita atasi dengan membuat sistem yang lebih efisien. Toh, sumber energinya sudah ada. Kita kemas supaya efisien dan cocok untuk remote area.
Dari mana investasi untuk membangun Weston?
Investasi pasti dari dana sendiri. Tapi, itu pun kecil. Tim saya isinya anak-anak UI, kecuali saya. Di UI, setiap tahun ada kerja sama dengan Kemenristekdikti untuk proyek-proyek teknologi. Jadi, kalau idenya bagus, bisa didanai.
Kita masuk ke inkubasi mereka. Kemenristekdikti tertarik, akhirnya kita dibiayai. Sampai sekarang pun kita masih dibiayai oleh mereka. Sekarang, kita masuk ke term II.
Weston fokus menyasar desa?
Desa yang benar-benar tidak ada akses. Kalau ke pasar, produk kita berbentuk sistem. Jadi, ada solar panel, ada inventer, dan ada baterai. Nah, produk-produk tersebut kita pasang di setiap rumah sehingga tidak bergantung pada satu power plant.
Dari awal tahun 2017, kita mencoba sosialisasi. Kita sudah bekerja sama dengan UI. Kita sosialisasi di hadapan para bupati. Selanjutnya, yang akan membiayai investasi adalah desa melalui dana desa. Kalau masyarakat harus investasi, biayanya terlalu tinggi. Kita tidak ingin membebani masyarakat.
Kita bukan project lepas. Kita juga buat community development dan pengembangan ekonomi. Tujuannya supaya listrik yang ada di desa tidak hanya berfungsi sebagai listrik, tetapi dapat pula dimanfaatkan untuk kegiatan produktif. Dengan begitu, desa dapat menjadi desa mandiri dan dapat mengembalikan investasi desa.
Desa mana saja yang sudah tersentuh oleh project tersebut?
Kita sudah menaruh alat di suatu desa di Bekasi. Kita bekerja sama dengan anak-anak UI yang memiliki project desa binaan di sana. Kita taruh di sana supaya kita bisa mengetes alat ini, apakah durable atau tidak.
Nah, untuk satu desa, tahun ini, baru akan kami jalankan. Kemarin, kami bersama anak-anak UI sosialiasi ke para bupati dengan dukungan dari BNI. Kita sosialiasi bahwa kita punya teknologi seperti ini, bisa mengatasi masalah kesulitan listrik.
Seperti kemarin, para bupati merespons dengan "lho, kita tidak tahu ada solusi seperti ini." Setahu mereka, listrik harus menunggu PLN. Selama ini, mereka hanya sibuk membuat jalan saja.
Bagaimana Anda memandang prospek bisnis ini?
Kalau bicara prospek bisnis berarti kita melihat long term-nya. Jadi, desa yang kita pasang energi terbarukan akan memiliki sistem listrik. Sistem listrik itu sama seperti di perkotaan. Masyarakat akan ditariki iuran. Tapi, memang, harga lebih murah dari PLN. Apa fungsinya iuran? Iuran itu akan masuk ke kas desa. Nantinya, ada bagian yang kita ambil melalui koperasi. Tapi, koperasinya tidak boleh di bawah desa dan harus ada pembagian finansial secara jelas.
Desa akan meng-collect iuran. Hasil iuran listrik desa akan dibagi menjadi dua: 70% masuk ke kas desa dan 30% masuk ke kami. Dana yang masuk ke kami akan digunakan untuk pemeliharaan. Misalnya, kalau ada kerusakan, kita perlu orang, untuk edukasi, untuk operasional. Nah, 70% yang dipegang desa, dapat dikembangkan untuk hal-hal yang produktif, seperti untuk UKM.
Uniknya dana desa, apabila ada progres, tahun depan bisa dianggarkan lebih banyak. Jadi, kalau pemerintah melihat, "oh, desa ini lebih maju karena ada sistem ini," merupakan keuntungan untuk desa karena berkemungkinan mendapat anggaran yang lebih besar untuk mengembangkan desa.
Secara bisnis, menurut saya potensial. Produk ini sangat krusial pada saat renewable energy nanti mulai masuk ke Indonesia. Goal renewable di antaranya harus efisien. Makanya, kita bilang potensial. Inilah kuncinya. Dengan teknologi DC ini, saat renewable masuk, kita bisa sambut itu. Sudah ada alternatif solusi baru dengan alat ini.
Berapa anggaran per proyek?
Anggaran berkisar antara Rp20 juta-Rp25 juta per rumah dalam satu sistem. Anggaran tersebut sudah mencakup pemasangan hingga produk. Kita membuat alatnya belum secara mass, masih per project.
Kalau makin besar dan luas, bagiamana me-maintenance sistem tersebut?
Basis kita adalah community development. Dalam satu tahun pertama, kita kerja sama dengan NGO. LSM bertugas mengedukasi masyarakat agar listrik yang ada digunakan untuk hal-hal produktif. Harapannya, mereka bisa meningkatkan perekonomian. Makanya, kita bikin sistem yang simpel, ada di tiap rumah. Tujuan edukasi juga supaya pada satu atau dua tahun pertama sudah siap semua. Dalam dua tahun, sudah bisa mandiri. Kita bisa lepas.
Untuk stakeholder yang terlibat itu ada NGO, pemerintah desa, Weston Energy, koperasi, dan warga. Tugas Weston untuk transfer teknologi dan pasang teknologi. NGO untuk edukasi pemberdayaan ekonomi. Desa bertugas untuk membuat strategi dan untuk mengembangkan iuran yang sudah diperoleh. Koperasi bertugas sebagai penengah untuk pembayaran. Jadi, skemanya lebih ke ekosistem. Semuanya kolaborasi, jadi tidak didominasi oleh satu pihak.
Apa rencana Anda apabila ada investor yang tertarik pada Weston Energy?
Tentu saja, produk akan terus dikembangkan. Kalau produk semakin bagus, pasti dari efisiensi dan ketahanan jauh lebih bagus. Jadi, kita bisa men-delivery satu sistem atau solusi yang lebih tahan lama, yang tidak hancur selama setahun dua tahun. Jadi, lebih ke pengembangan research and development-nya.
Contohnya, kalau di luar negeri, ada quantum computer. Google ingin mengolah database sehingga butuh komputer banyak. Nah, mereka pakai quantum computer. Komputernya kecil, tetapi kalau disambung dengan disc, sama dengan 1.000 komputer. Nah, energi yang biasa itu tidak efisien maka dikombinasikan ke renewable. Kita ingin alat kita bisa dimanfaatkan seperti itu.
Kalau skala besar, bisa jadi supercharging untuk electric card. Jadi, produknya satu, tetapi product extension-nya banyak. Jadi, investor arahnya lebih ke product extension. Untuk implementasi desa, tidak perlu investor karena investor desa berasal dari dana desa, program CSR, atau bisa juga crowd funding.
Jika ditanya, commercial value atau social value? Anda pilih mana?
Saya lebih pilih social value. Saya percaya kalau kita giving back ke community, kita doing good, bisnis kita akan lebih sustainable walaupun awal-awalnya tidak ada untung. Tapi, akan ada kepuasan tersendiri pada saat melihat ada perubahan atas apa yang telah kita berikan. Itu lebih valuable dibandingkan tiap bulan dapat profit.
Secara long term, berarti kita bicara produk. Secara sistem renewable energi, produk di Indonesia bisa maju karena produk bersistem DC. Misalnya, elektrik. Dengan sistem lama, elektrik mesti dicas selama empat jam. Kalau dengan teknologi DC, bisa empat kali lebih cepat. Jadi, untuk semua yang berbasis energi terbarukan, dengan teknologi ini, bisa di-support lebih cepat dan efisien.
Hanya saja, kita tidak akan fokus ke produknya karena buat apa menggantikan sebuah sistem, seperti mobil, yang masih ada dan masih oke-oke saja. Lebih baik, kita fokus ke masalah yang harus diselesaikan lebih dulu. Makanya, kita arahnya ke desa.
Kenapa Anda memutuskan untuk menjadi socialpreneur?
Saya berpikir begini. Saya lahir di Jakarta, beruntung bisa hidup berkecukupan. Saya bisa sekolah dan menikmati fasilitas lengkap. Saya sering ikut volunteer. Kemarin, kita ke daerah timur. Kok, di sana fasilitasnya susah, sekolahnya pas-pasan.
Nah, kalau sudah dikasih fasilitas seperti ini, sedangkan kita tidak giving back ke orang-orang yang kurang beruntung, kesannya seperti nonsense. Untuk apa sekolah tinggi-tinggi? Malah dipakai untuk kepentingan pribadi. Jadi, menurut saya, saat kita punya nasib yang lebih baik, kita harus bantu orang-orang yang nasibnya kurang baik.
Apa mimpi besar Anda?
Mimpi saya adalah kita membangun masa depan untuk generasi berikutnya yang benar-benar jauh lebih baik dari sekarang, khususnya dalam hal renewable energy. Dalam bayangan saya, masa depan itu, pertama, harus clean energy, tidak ada polusi, banyak kincir angin, dan panel-panel.
Kedua, harus sustainable. Sekarang, kita seperti mengalami krisis energi. Padahal, listrik sudah dibangun sejak zaman Thomas Alfa Edison. Kok, masih saja ada orang-orang yang belum tersentuh listrik? Di masa depan, tidak ada lagi cerita orang tidak dapat lsitrik. Ketiga, kita ingin climate change tidak makin parah.
Sebagai generasi sekarang, kita harus memikirkan generasi berikutnya. Tapi, kesannya, generasi sekarang seperti egois. Kita mengeksploitasi dan mementingkan profit. Walau, banyak juga generasi muda yang sudah mulai terbuka, mau melakukan ini, mau melakukan itu. Itu bagus. Jadi, kita inginnya tidak harus mengubah. Kita mau jadi bagian dari perubahan itu.
Apakah Anda punya mimpi Weston Energy menjadi startup berlabel unicorn?
Jujur, saya tidak berpikir ke arah situ. Kita kecil saja, tapi bareng-bareng dan punya impact yang besar. Masalah di Indonesia banyak, jadi, mari selesaikan secara bersama-sama. Harapan saya lebih memberi impact yang besar.
Bagaimana pandangan Anda terhadap startup yang melakukan disrupsi?
Menurut saya, itu bagus. Pada saat banyak bisnis yang ter-disrupt, mereka dipacu untuk berinovasi. Masalah di bisnis konvensional adalah mereka terlalu nyaman di comfort zone.
Contohnya Blue Bird. Dia terlalu nyaman. Pada saat ada Uber datang, mau tidak mau Blue Bird harus berinovasi. Ada bright side-nya.
Apakah Anda percaya bisa men-disrupt PLN?
Sebenanya, itu bisa. Secara regulasi, bisa. Kalau boleh dicek, saya agak lupa bahwa di regulasi, bila ada area yang tidak bisa dijangkau oleh PLN, swasta boleh mengambil alih dan mengembangkan listrik di sana. Nah, itu kan sebenarnya peluang untuk swasta.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ratih Rahayu
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: