PT Sebuku Iron Lateritic Ores (SILO), perusahaan pertambangan dan pengolahan (smelter) bijih besi di Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan, menolak mentah-mentah uang jaminan Rp51 miliar, yang diminta Pemprov Kalsel terkait rehabilitasi lahan daerah aliran sungai (DAS).
Dirut SILO Soenarko mengatakan permintaan uang jaminan tersebut tidak memiliki dasar hukum. "Jelas saja kami tolak permintaan uang jaminan tersebut, tidak ada dasar hukumnya. Uang Rp51 miliar tidak sedikit," katanya.
Sebelumnya, Pemprov Kalsel melalui surat Kepala Dinas Kehutanan Hanif Faisol Nurofiq dengan nomor 522/1054/PDASRHL/Dishut tertanggal 25 Agustus 2017, menyebutkan SILO sebagai pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) seluas 1.731,6 ha, baru merealisasikan penanaman rehabilitasi DAS seluas 11,5 ha.
Untuk itu, Dinas Kehutanan Pemprov Kalsel meminta kepada SILO menyiapkan rekening QQ (bersama) untuk kegiatan penanaman rehabilitasi DAS. "Dalam rangka mendukung keberhasilan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi DAS IPPKH, Saudara diwajibkan menyiapkan rekening QQ yang dialokasikan khsusus hanya untuk kegiatan penanaman rehabilitasi DAS IPPKH minimal sebesar Rp30.000.000 per ha untuk areal seluas 1.720,116 ha atau sebesar Rp51.603.300.000," sebut Hanif dalam suratnya ke SILO.
Di dalam surat juga disebutkan jika SILO tidak memenuhi kewajiban DAS IPPKH seluas 1.720,116 ha, Dinas Kehutanan Pemprov Kalsel bisa mengusulkan kepada pejabat berwenang untuk mencabut lokasi rehabilitasi DAS yang sudah ditetapkan.
Menurut Soenarko, sikap SILO juga diperkuat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui surat nomor S.29, Kepala Biro Hukum KLHK Krisna Rya mengatakan uang jaminan Rp30 juta per ha tidak ada dasar hukumnya. Menurut dia, kegiatan penanaman DAS merupakan kewajiban SILO selaku pemegang IPPKH setelah calon lokasi penanaman DAS-nya ditetapkan KLHK.
"Persyaratan agar SILO menyiapkan rekening QQ yang dialokasikan khusus untuk kegiatan penanaman rehabilitasi DAS IPPKH minimal Rp30 juta per ha, tidak diatur oleh ketentuan peraturan perundangan-undangan," kata Krisna dalam suratnya ke SILO.
Akan tetapi, lanjut Soenarko, pihaknya sudah menanam dalam rangka rehabilitasi DAS sekitar 400 ha dan telah mendapat tambahan dari pihak terkait untuk menanam lagi seluas 600 ha.
Namun, Dinas Kehutanan Pemprov Kalsel tidak kunjung juga memberikan peta lokasi penanaman DAS karena SILO belum memenuhi uang jaminan Rp51 miliar tersebut sehingga penanaman 600 ha belum bisa dilakukan.
"Akibat uang jaminan Rp30 juta per ha yang mereka minta tidak dipenuhi, menyebabkan penanaman DAS seluas 600 ha itu tidak bisa dilakukan. Sampai saat ini, kami tidak mendapat penjelasan apa yang menjadi kekurangan kami. Sebagai investor, semestinya kami dibina dan bukan 'dibinasakan' seperti ini," katanya.
Sebelumnya, Direktur Operasi SILO Henry Yulianto mengatakan sejak 24 Oktober 2016, pihaknya sudah mengajukan peta lokasi rehabilitasi DAS sebagai kompensasi penerbitan IPPKH kepada Dinas Kehutanan Pemprov Kalsel.
"Namun, hingga saat ini, peta lokasi tersebut belum juga ditetapkan," katanya.
Akibatnya, menurut dia, pengoperasian smelter bijih besi SILO, yang hingga saat ini sudah menelan investasi US$150 juta atau sekitar Rp2 triliun menjadi terhenti sejak November 2017 dan menyebabkan sebanyak 533 karyawan terancam pemutusan hubungan kerja (PHK).
Selain itu, lanjutnya, mangkraknya smelter bernilai triliunan rupiah tersebut juga merugikan pemerintah pusat dan daerah, masyarakat setempat, dan juga perusahaan.
"Di luar smelter itu, kami juga sudah menanamkan modal di pertambangan bijih besi sejak 2004," katanya.
SILO yang beroperasi di Pulau Sebuku, Kalsel memiliki izin usaha pertambangan (IUP) bijih besi seluas 12.000 ha. Saat ini, perusahaan tengah membangun smelter dengan kapasitas total 6,3 juta ton bijih besi dan rencana produksi sponge ferro alloy 2,2 juta per tahun.
Keseluruhan pembangunan smelter dengan nilai investasi US$180 juta atau setara Rp2,4 triliun tersebut ditargetkan rampung 2021. Namun, sambil menunggu proyek keseluruhan selesai, sejak 2014, SILO mengoperasikan smelter secara terbatas dengan hasil konsentrat bijih besi.
Pengoperasian sementara smelter tersebut kini terhenti dan merugikan karyawan, warga sekitar, pemerintah, dan juga perusahaan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Fauziah Nurul Hidayah