Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Selamat Datang Blockchain!

Selamat Datang Blockchain! Kredit Foto: File/Crpto-Economy.net
Warta Ekonomi, Jakarta -

Bitcoin barulah salah satu produk yang memanfaatkan teknologi blockchain. Di luar itu, masih banyak area bisnis lain memakai blockchain. Tapi, blockchain ini bisa jadi ancaman bagi banyak sektor industri seperti perbankan dalam hal payment system. Blockchain diyakini akan merevolusi proses bisnis.

Belakang ini publik semakin akrab dengan uang virtual (crypto-currency) Bitcoin. Maklum saja, sudah semakin luas saja penduduk Indonesia yang bertransaksi atau investasi dengan memakai alat pembayaran Bitcoin. Meski secara yuridis formal Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter dan sistem pembayaran dengan tegas menyatakan Bitcoin bukan alat pembayaran yang sah, toh keberadaan Bitcoin akan tetap eksis. Alasannya, alat pembayaran tersebut belum diatur dalam undang-undang (UU) Bo. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang. Dalam UU itu dinyatakan hanya rupiah merupakan alat pembayaran yang sah.

Dibalik nama Bitcoin yang terus moncer dan harga per koin yang terus melambung hingga menembus US$20.000 atau setara Rp270 juta, ada satu platform yang memungkin berjalannya Bitcoin dan mata uang virtual lainnya seperti Ethereum, Litecoin, Dogecoin, Namecoin, Swiftcoin, Emercoin, Gridcoin dan lainnya. Platform itu bernama blockchain. Tanpa kehadiran blockchain, Bitcoin dan mata uang virtual lainnya tidak akan ada. Blockchain inilah yang mengelola transaksi Bitcoin dan mata uang virtual lainnya.

Apa itu blockchain? Belum ada definsi yang baku terkait hal ini. Blockchain berasal dari dua suku kata, yakni block dan chain

Kata block menggambarkan bentuk rantai yang saling terangkai (chain) yang berisi transaction records. Untuk membuat block, memerlukan cryptographic signature sebagai bagian dari validasi. Defini lain menyatakan blockchain itu sebuah buku besar digital (a digital ledger) dengan transaksi Bitcoin dan uang virtual lainnya dicatat secara kronologis dan umum dengan memakai kode unik yang tidak bisa dirubah (kekal) yang merevolusi kerja internet.

Awal mula kehadiran blockchain dengan Bitcoin sebagai wujud cryptocurency merupakan bentuk ‘perlawanan’ sang pengagas dan developer yang dianggap masih misterius saat ini, yakni Satoshi Nakamoto terhadap peran sentral dari institusi perbankan dan pemerintah dalam hal ini bank sentral pada 2008. 

Bitcoin merupakan simbol perlawanan tersebut. Setiap transaksi antara dua pihak yang sepakat memakai Bitcoin sebagai alat pembayaran tidak lagi memerlukan kehadiran pihak trusted third party seperti bank dan bank sentral.

Ketiadaan pihak trusted third party yang lazimnya melakukan verifikasi ini digantikan dengan adanya cryptographic signature untuk memvalidasi setiap kegiatan transaksi. Cryptographic signature dalam bentuk hash merupakan wujud pengamanan transaksi termasuk atas kepemilikan dan ketersediaan aset yang ditransaksikan. Proses konfirmasi dan validasi transaksi pada sebuah single ledger melalui consencus algorithms. Jadi, dalam proses peer-to- peer networking dan distribusi storage data, multiple copies dari sebuah single ledger kepada semua peserta sistem dengan tiap peserta memiliki shared history dari semua transaksi di sistem.

Menurut Direktur Eksekutif Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI), Eni V. Pangabean, teknologi blockchain memiliki perbedaan dengan teknologi lain yang ada saat ini. Ada beberapa karakteristik dari teknologi blockchain ini. Blockchain tidak memerlukan third trusted party. 

Perpindahan aset terjadi tanpa melalui pihak perantara bank. Blockchain juga tidak single point of failure. Maksudnya, apabila terjadi kegagalan sistem tidak akan berpengaruh terhadap keseluruhan sistem karena teknologi berisi ledger-ledger dalam satu chain. Info terkait database terdistribusi ke semua peserta. Dan cryptograpgy sebagai pengaman transaksi dari hacker.

Satoshi Nakamoto dalam salah satu ringkasan white paper mengatakan, "Bitcoin adalah rantai kerja berdasarkan bukti kerja berbasis hash, membentuk sebuah catatan yang tidak dapat diubah tanpa mengulangi bukti kerja (proof of work). Pembentukan rantai (chain) terpanjang tidak hanya berfungsi sebagai bukti atas rangkain kejadian yang disaksikan, tetapi bukti bahwa hal itu berasal dari kelompok terbesar dari kekuatan CPU. Selama mayoritas kekuatan CPU yang dikendalikan oleh node yang secara bersamaan menyerang jaringan, mereka akan menjadi chain terpanjang.”

Blockcahian Ibarat Jalur Kereta

Blockchain itu bisa diibaratkan seperti jalur kereta. Kereta yang melintas di jalur itu bisa beragam, kereta jenis cryptocurrencies (Bitcoin, Ehterum, Litecoin dan lainnya) barulah salah satu jenis kereta. The European Union-backed Blockchain 4EU project memperkirakan teknologi blockchain dan distributed ledger technology (DLT) bisa dipakai untuk berbagai keperluan di luar cyptocurency seperti Bitcoin. Misalnya, teknologi blockchain & DLT bisa dipakai untuk memonitor dan melacak bahan baku (raw material) dalam proses supply chain yang memungkin untuk melacak sumber bahan baku. Selain itu, dalam logistik bisa membantu dalam melacak setiap tahapan pengiriman kontainer yang akan memperjelas figur siapa saja yang memiliki otoritas dari setiap pergerakan kontainer. 

Proyek nyata sedang digarap bareng antara IBM dan Maersk yang memakai blockchain untuk membangun The Hyperledger Fabric dalam mengelola supply chain dalam pengapalan kontainer. Kedua pihak sepakat untuk melakukan proof of concept (POC) dalam proses pelacakan sebuah kontainer dari Mombasa di Kenya hingga ke Rotterdam di Belanda. Dalam proses POC ini semua dokumen pengapalan kontainer dilakukan secara digital dan perjalanan kontainer bisa terlacak. “Kami sedang terus mempelajari bagaimana teknologi blockchain dan DLT lainnya mengubah sistem operasi organisasi binis dan pemerintahan di era digital,” ujar analis 4EU project, Susan Nascimento seperti dilaporkan TechRepublic.

Banyak potensi dari aplikasi teknologi blockchain dan DLT lainnya seperti memangkas fraud, mengikis biaya opersional, meningkatkan safety & security of transaction, optimalisasi operasi pabrik, dan pengelolaan data di dalam dan di luar perusahaan. Pada sisi lain, kehadiran blockchain akan mendisrupsi sektor bisnis tertentu. Setidaknya bakal ada 19 jenis industri yang terganggu oleh blockchain. Misalnya, industri perbankan dan payment, cyber security, supplychain management, forecasting, jaringan internet, asuransi, transportasi pribadi dan sharing, cloud storage, charity, voting, pemerintah, public benefit, kesehatan (healthcare), energy management, musik online, retail, real estate, dan crowdfunding.

Kehadiran blockchain boleh dibilang merevolusi proses bisnis dengan menghilangkan peran dari third trusted party. Misalnya, TKI di Hongkong kalau mengirim uang tidak perlu memakai third trusted party seperti Money Gram atau perbankan, tapi bisa langsung kirim ke keluarga mereka di dalam negeri dengan teknologi blockchain. Atau, customer yang butuh sharing car tidak lagi memerlukan third party seperti Grab atau Gojek, tapi bisa order langsung ke pemilik kendaraan. Cloud storage sudah tidak diperlukan lagi karena semua data transaksi ada pada ledger-ledger dalam rangkaian chain.

Proof of Concept (PoC)

Kehadiran teknologi blockchain dan DLT bersifat netral dalam arti ia bisa menjadi peluang (benefit) apabila bisa diekplorasi atau menjadi ancaman (threat) apabila tidak diantisipasi. Ambil contoh industri perbankan yang berpeluang kehilangan peran sebagai the third trusted dalam sebuah proses transaksi bisnis dengan kehadiran blockchain. Nyata-nyata kehadiran Bitcoin sudah memperlihatkan tidak perlu adanya peran dari the third trusted. Namun begitu, industri perbankan masih bisa mengais peluang memanfaatkan blockchain dan DLT.

General Manager, Banking and Financial Market, IBM Indonesia, Inge Halim untuk implementasi blockchain di sektor keuangan dan perbankan di Indonesia, alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) 1975 ini menyarankan agar otoritas moneter dan perbankan (BI dan OJK) serta sektor perbankan membuat proof of concept (PoC). Maksudnya, apakah konsep blockchain ini memang benar bisa dipakai dalam sektor perbankan. PoC ini akan membuka banyak hal terkait pemanfaatan blockchain ini. 

Misalnya, sistem pembayaran (payment system), remiten, trade finance, know your custormer (KYC) dan lainnya. Dari semua rangkaian potensi pemanfaatn blockchain di sektor perbankan, ia menyarankan PoC yang quick win dalam waktu dekat ini yakni KYC. Selama ini proses KYC di perbankan dilakukan antara pihak bank dan customer untuk kurun waktu yang lama. Dengan memakai blockchain, data customer bisa diakses oleh semua bank yang melakukan transaksi dengan yang bersangkutan dalam tempo singkat. Hanya pesoalannya, siapa yang akan menjadi figur otoritas atas KYC ini, masih sedang dipelajari oleh pelaku perbankan. Usulan sementara organisasi perbankan selaku otoritas KYC.

Sayangnya, kata Rektor Perbanas, Marsudi Wahyu Kisworo, kalau melihat digital banking readiness indeks yang dikeluarkan AT Kerney, posisi Indonesia masih masuk kategori “still working on fundamental”. Maksudnya, proses bisnis perbankan masih menggarap praktik bisnis bank yang basic seperti simpan-pinjam di kantor-kantor cabang perbankan. Gambaran tersebut memperlihatkan bahwa betapa dalam hal kesiapan industri perbankan di dalam negeri dalam memanfaatkan teknologi digital banking termasuk blockchain masih tertinggal jauh dari Singapura yang masuk level “committed to digital banking”.

Opimalisasi Peluang, Minimalisir Risiko

Dalam sebuah survei yang dilakukan IBM Institute for Business Value terhadap 200 pemimpin pemerintah di 16 negara terkait pengalaman dan ekspektasi mereka terhadap teknologi blockchain, secara umum mereka masih memantau bagaimana blockchain memberi dampak positif di sejumlah area. Misalnya, sembilan dari sepuluh organisasi pemerintah berencana menginvestasi di blockchain untuk pemanfaatan pada manajemen transaksi keuangan, manajemen aset, dan manajemen kontrak serta kelengkapan dokumen pada 2018. “Mayoritas para eksekutif pemerintah memperkirakan blockchain akan mendisrupsi di area kontrak managemen yang merupakan intersection antara sektor publik dan privat,” tulis laporan itu.

Eni V. Panggabean tidaklah memungkin bahwa kehadiran teknologi blockchain membawa serangkain manfaat. Misalnya, memperluas layanan keuanan, bisnis proses yang lebih efisien, peningkatan keamanan teknologi, biaya transaksi dan pemrosesan yang relatif lebih murah, regulatory dan IT cost yang lebih murah. Pada sisi lain, kehadiran blockchain juga menyertakan potensi risiko yang kudu mesti diwaspadai. Ambil contoh, aspek perlindungan konsumen, disintermediasi, keamanan data, cyber crime, financial integrity, pencucian uang, stabilitas sistem keuangan, dan efektivitas kebijakan moneter.

BI selaku otoritas moneter dan sistem pembayaran (SP) mencoba melihat peluang pemanfaatan blockchain dalam hal SP. Penggunaan blockchain pada SP formal masih dalam tahap uji coba dan masih perlu diuji keandalan, skalabilitas, dan keamanan. Selain itu, bank sentral juta mencermati aspek lainnya seperti Standardisasi & interoperabilitas berbagai blockchain untuk menghindari market fragmentation. Aspek lainnya, upgrading & streamlining dalam aspek payment, clearing & settlement dengan semua penyelenggara layanan keuangan. Masih perlu dibuktikan & diuji lebih lanjut. Mekanisme settlement: semua peserta, central trusted party, atau beberapa peserta.

Sementara respons bank sentral lain pun masih memcermati blockchain ini. Bank of Japang (BoJ) menyatakan, “penerapan dari teknologi blockchain dapat merubah struktur dari infrastruktur keuangan yang dibangun melalui ledger yang tersentralisasi yang dikelola oleh trusted third parties (banking). Oleh karenanya, bank sentral akan dan harus mengikuti pergerakan dari isu secara lebih dekat dengan kepentingan yang besar.” Bank for International Settlements (BIS) menyarankan agar bank sentral mempertimbangkan melalui respons kebijakan yang besar terkait potensi pemanfaatan blockchain dalam SP dan instrumen pasar uang lainnya.

Ada pula sejumlah bank sentral mengambil langkah aksi nyata dengan membentuk satu tim khusus yang menggarap proyek khusus blockchain. Misalnya, Proyek Jasper yang dilakukan Bank of Canada bersama Payment Canada. Proyek ini mengeksplorasi terhadap penerbitan, transfer, dan penyelesaian aset bank sentral dengan menggunakan distributed ledger technology (DLT) network.

Kesimpulan sementara, DLT belumlah matang dalam menjalankan operasional sistem pembayaran yang sepertinya belum mempertemukan manfaat dari sentralisasi sistem pembayaran dalam kategori besar. Proyek sejenis juga dilakukan MAS Singapore dengan Proyek Ubin. Proyek ini mempelajari dan eksperimen pemanfaatan teknologi DLT. Lalu, bagaimana semua pihak baik regulator dan pelaku bisnis mesti merespons secara benar akan kehadiran blockchain atau DLT? Yang perlu dipastikan terlebih dahulu bahwa blockchain/DLT berbeda dengan Bitcoin yang barulah salah satu produk cyptocurrency yang memanfaatkan platform blockchain. Seperti sudah dipaparkan, area potensi pemanfaatan blockchain sangatlah luas. Hal inilah yang kudu direspons secara tepat oleh regulator dan CEO perusahaan agar menangguk benefit besar dari blockchain.

PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tbk, misalnya. Bank BUMN ini menaruh dana capex di atas Rp5 triliun pada 2017. Dari jumlah itu, Rp2,4 triliun dipakai untuk belanja IT termasuk antisipasti blockchain. “Terkait blockchain, aspek yang jadi perhatian perusahaan yakni sistem pembayaran yang tetap ada peran bank didalamnya,” ujar CEO BRI, Suprajarto.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Heriyanto Lingga
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: