Geliat sektor perbankan tampaknya diproyeksi tidak akan seluwes tahun-tahun sebelumnya. Hilangnya pelonggaran moneter yang dulu dilakukan Bank Indonesia ditambah dengan tekanan dari kenaikan suku bunga The Federal Reserve (The Fed) bakal menjadi barrier bagi tumbuh kembangnya penyaluran kredit bank.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan pertumbuhan kredit industri perbankan tahun ini bakal sulit tembus double digit. Bahkan, debitur korporasi diprediksi akan lebih memilih menggunakan pasar modal sebagai medium untuk pengumpulan dananya, yakni melalui penerbitan obligasi ataupun saham.
"Pembiayaan korporasi melalui pasar modal, seperti penerbitan saham (IPO dan rights issue), obligasi korporasi, dan medium term notes (MTN) terus mengalami peningkatan sebesar 29,8% pada 2017," katanya di Jakarta, Kamis (15/3/2018).
Lebih lanjut dirinya mengatakan saat ini permintaan investor khususnya dari asing sangat tinggi terhadap surat utang berdenominasi dolar AS. Ditambah suku bunga yang ditawarkan oleh obligasi relatif lebih murah dengan tenor yang sama dengan kredit perbankan.
Kondisi tersebut tentu dapat berdampak ke perbankan dari sisi penyaluran kredit sehingga otomatis dapat membuat perang suku bunga di perbankan.
"Rata-rata bunga kredit bank umum 11,3%. Sementara rata-rata kupon obligasi 6,9Â sampai 11% untuk obligasi tergantung tenor dan rating," tambahnya.
Hal tersebut dikatakan Bhima dapat menganggu penyaluran kredit bank. Yang pada akhirnya bakal mempersulit pihak bank untuk mencapai pertumbuhan double digit.
Bhima memprediksi pertumbuhan kredit hanya akan mencapai kisaran 8,5% hingga 9,5%. Sebagai catatan, pada akhir Desember lalu penyaluran kredit bank mencapai Rp4.763,2 triliun atau tumbuh 8,2% dari periode yang sama tahun sebelumnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Gito Adiputro Wiratno
Editor: Fauziah Nurul Hidayah