Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tekanan Global Dorong Koreksi Pasar Saham

Tekanan Global Dorong Koreksi Pasar Saham Karyawan beraktivitas di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (7/3). IHSG ditutup melemah 131,84 poin atau 2,03 persen ke level 6.368,27. | Kredit Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Warta Ekonomi, Jakarta -

Tekanan terhadap pasar modal dan valuta asing di dalam negeri diharapkan akan mulai mereda seiring menurunnya yield Tbond dan VIX yang mengukur volatilitas indeks saham bursa saham Amerika Serikat. Direktur Strategi Investasi dan Kepala Makroekonomi PT Bahana TCW Management Budi Hikmat mengatakan koreksi pada pasar modal dan valuta selama kuartal pertama 2018 lebih banyak terkait faktor global, terutama antisipasi kenaikan Fed fund rate dan kegaduhan perang dagang.

Sepanjang kuartal lalu, IHSG terkoreksi 2,62%. Angka ini relatif lebih rendah bila dibanding indeks saham bursa India (-3,2%), Tiongkok (-4,18%), Nikkei Jepang (-5,5%), dan Filipina (-6,8%). Pada periode yang sama, kinerja investasi obligasi negara berdasarkan Asian Bond Fund-Indonesia mencapai 0,19%. 

"Sejak pertengahan Maret 2018, investor asing nampak kembali masuk membeli obligasi negara. Hal ini menopang kinerja Indeks Asian Bond Fund-Indonesia selama Maret 2018 sebesar 0,58% yang sempat mengalami koreksi tajam selama Februari 2018," katanya di Jakarta, Rabu (4/3/2018).

Sementara itu, lanjutnya, kurs Rupiah terdepresiasi 1,2% selama tahun berjalan. Upaya stabilisasi kurs oleh Bank Indonesia terlihat menyebabkan posisi cadangan devisa berkurang sekitar $4 miliar. Pada periode ini, mata uang Bath Thailand menguat 4,6%, tapi Peso Filipina melemah 4%.

Budi menuturkan rencana kenaikan tarif impor baja dan aluminium di AS telah memicu risiko perang dagang antara AS dengan mitra dagangnya terutama Tiongkok. Presiden AS Donald Trump menuduh Beijing melakukan perdagangan yang tidak sehat yang membuat Amerika defisit hingga US$375 juta sepanjang 2017.

Pemerintah Tiongkok diberitakan akan membalas tindakan AS dengan mengenakan tarif impor terhadap barang-barang negeri Paman Sam tersebut.

"Ketegangan ini berisiko menurunkan volume of trade yang kurang menguntungkan emerging market yang memiliki ketergantungan supply chain dengan Tiongkok," ungkap Budi.

Sebenarnya, lanjut Budi, hubungan Tiongkok dan Amerika Serikat itu terbilang unik. Pasalnya, Tiongkok selama ini menyediakan beraneka barang yang lebih murah yang tidak dapat diproduksi di Amerika Serikat. 

Tiongkok juga merupakan negara kreditor terbesar bagi Amerika dengan penempatan pada Tbond senilai US$1,17 triliun per Januari 2018 lalu. Kebijakan pemangkasan pajak menyebabkan Amerika Serikat lebih membutuhkan partisipasi kreditur, terutama Tiongkok. 

"Bayangkan jika Tiongkok melepas US$100 miliar saja, tak hanya pasar AS yang bergejolak, tapi market global juga dapat terimbas. Kita perlu mencermati perkembangan solusi ekonomi dan politik terkait perang dagang antara AS dengan Tiongkok," tambahnya.

Sebagai catatan, selama kuartal lalu, investor cenderung melakukan aksi ambil untung (profit taking) seiring kenaikan bursa saham di AS dan negara berkembang lainnya yang cukup tinggi beberapa tahun terakhir.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Gito Adiputro Wiratno
Editor: Fauziah Nurul Hidayah

Bagikan Artikel: