Ada yang menarik dari acara Sarasehan Penjual HIK di Kota Solo. Pertama, istilah HIK yang sudah melegenda. Ternyata hanya sebagian peserta yang tahu, yaitu Hidangan Istimewa Kampung. Kedua, pesertanya adalah penjual HIK sebagai pelaku usaha, dan pihak terkait seperti pengelola, pemasok makanan HIK, serta para user yang terdiri dari mahasiswa, tukang ojek, tukang becak, maupun pelanggan. Sungguh sebuah acara yang riil dan menyentuh.
Ketiga, materinya menyangkut situasi dan kekeadaan terkini seperti mengenal ciri-ciri uang rupiah agar terhindar dari dampak peredaran uang palsu. Kemudian apa yang harus dilakukan serta ke mana harus melaporkan uang palsu ini.
Saya ingin menegaskan bahwa para penjual HIK tersebut memiliki peran sangat penting sehingga perlu diangkat. Dari sisi ekonomi, mereka adalah pelaku ekonomi nyata yang menyasar di daerah desa, kampung, dan daerah pinggiran lain. Dari sisi keamanan, mereka berfungsi sebagai early warning system karena sangat mengenal lingkungan dan masyarakat sekitar.
Kemudian dari sisi informasi, lapak HIK adalah ajang sharing informasi semua lapisan masyarakat yang heterogen dan tidak mengenal strata karena siapapun bisa nongkrong di situ untuk santai dan menikmati hidangan kampung nanmurah meriah.
Dari sisi kulinari, HIK selalu menyegarkan ingatan kita tentang masa lalu dan kekinian. Contoh, apa yang kita makan di zaman susah dulu akan tersedia di sebuah angkringan pojok gang dengan suasana remang-remang dan beberapa ceret yang tak pernah kosong untuk merebus air serta bakaran arang yang tak henti menghangatkan makanan dan membakar jahe gepuk.
Selanjutnya dari sisi budaya, HIK adalah ikonik sebuah kota yang menggambarkan kehidupan kota yang tak pernah tidur dan selalu menawarkan kenyamanan untuk bersosialisasi menambah pertemanan dari semua kalangan.
Saya mengakui jika pasar HIK ini adalah refleksi ekonomi pinggiran yang tak pernah tidur dan tak pernah sepi sehingga berdaya tahan tinggi. Pasar HIK juga bisa menjadi indikator awal sebuah inflasi karena orang akan langsung teriak jika harga nasi kucing, gorengan, dan camilan ringan lainnya tiba-tiba lebih mahal dari biasanya.
Apakah ikon HIK selalu ditandai dengan suasana remang-remang, kumuh, makanan tak higienis, dan hanya omongan ringan kurang bermutu saja yang tersaji di situ? Kiranya terlalu naif dan memandang sebelah mata. Kita bisa mengubah paradigmanya dan memoles masa depan. HIK yang lebih mengedepankan budaya tanpa harus menghilangkan ikon dan ciri khas.
Coba saja, jika HIK dikelola lebih profesional dengan pelayanan yang lebih ramah, bersih, dan menyehatkan pasti akan menjadi ikon yang ber-branding dan barang kali berkelas untuk sebuah miniatur ekonomi yang berbasis lokal pinggiran.
Untuk menarik pelanggan yang lebih haus informasi dan lapar berita, HIK perlu dibenahi dengan sentuhan teknologi yang mampu menyerap perhatian kaum muda dan generasi milenial. Kekinian informasi dan pemenuhan kebutuhan informasi menjadi hal yang utama dan prioritas yang harus diwujudkan.
Terakhir, kesinambungan HIK dan revitalisasi perannya harus didukung semua pihak. Bahkan, pemerintah yang dalam hal ini pemerintah daerah perlu menengok kembali keberadaan HIK yang kekinian dan seharusnya sehingga cara pandang lama harus ditinggalkan. Pemerintah daerah harus mulai menganggap HIK sebagai paru-paru ekonomi yang perlu dijaga kesehatannya dan jika perlu ditambah vitamin agar sehat dan memiliki stamina yang terjaga. Layaknya, penjual HIK saat ini yang selalu menjaga stamina agar mampu menjaga daya tahan minimal untuk menopang hidup keluarga sendiri.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: