Di Balik Kurang Kencangnya Lari PTBA
Oleh: Adler Haymans Manurung, Guru Besar Pasar Modal dan Perbankan, Doktor of Research in Management - Bina Nusantara University
Asal mula PT Bukit Asam Tbk tidak terlepas dari adanya tambang batu bara di Ombilin, Sumatera Barat, yang beroperasi mulai tahun 1876. Kemudian, pada 1919 beroperasi pertambangan di Air Laya, Tanjung Enim, Sumatera Selatan, dalam penguasaan Belanda. Setelah Indonesia merdeka, perusahaan pertambangan tersebut menjadi perusahaan negara yang dikenal dengan PN Tambang Arang Bukit Asam (PN TABA). Pada tahun 1981, perusahaan diubah namanya menjadi PT Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA).
Berdirinya PTBA ini menjadi titik awal adanya perusahaan yang dimiliki pemerintah pada bidang pertambangan batu bara sekaligus sebagai salah satu sumber pendapatan pemerintah melalui dividen. Bergabungnya semua perusahaan batu bara pada 1990 menjadikan PTBA satu-satunya perusahaan pertambangan di Indonesia yang dimiliki pemerintah.
Pada tahun 2001, perusahaan melakukan penawaran saham ke publik dalam rangka ekspansi. Secara bersamaan, kebetulan Indonesia baru keluar dari krisis keuangan. Jumlah saham yang ditawarkan ke publik sebesar 25% dengan harga Rp575 per saham. Harga saham ini ditutup di hari pertama senilai Rp600 dan memberikan capital gain sebesar 4,36% pada investor. Banyak investor yang cukup senang dengan adanya kenaikan harga ini. Perusahaan pun mendapatkan dana sebesar Rp1,67 triliun. Stock split (pemecahan saham) juga dilakukan untuk membuat harga saham lebih rendah sehingga likuiditas saham bisa tercapai akibat harga saham yang sudah tinggi.
Total aset perusahaan sendiri masih kalah bila dibandingkan dengan perusahaan tambang lain yang dimiliki pemerintah. Aset perusahaan sebesar Rp2,73 triliun pada tahun 2012 yang mengalami penurunan sebesar 8,26% pada tahun 2013 menjadi Rp11,68 triliun. Aset ini meningkat pada tahun 2014 sebesar 27,26% menjadi Rp14,86 triliun. Peningkatan aset ini juga terjadi pada tahun 2015 sebesar 13,68% menjadi Rp16,89 triliun, sementara di 2017 menjadi Rp21,99 triliun. Aset yang meningkat ini tidak terlepas dari meningkatnya aktivitas perusahaan, meski dalam lima tahun terakhir harga batu bara tidak mendukung.
Penjualan perusahaan yang meningkat dari tahun ke tahun menjadi salah satu penyebab meningkatnya aset. Tercatat, penjualan perusahaan sebesar Rp11,6 triliun (2012) turun menjadi Rp11,21 triliun (2013). Penurunan ini disebabkan harga yang mengalami penurunan. Di tahun berikutnya, penjualan PTBA kembali positif, meningkat menjadi Rp13,08 triliun (2014), Rp13,73 triliun (2015), Rp14,06 triliun (2016), dan meningkat tajam sebesar 38,49% menjadi Rp19,47 triliun (2017). Volume penjualan sekitar tiga juta ton serta harga yang naik menjadi penyebab penjualan ini mengalami peningkatan yang tajam pada tahun 2017 sebesar 38,49% menjadi meningkatnya penjualan perusahaan.
Bila diperhatikan, ekuitas perusahaan mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun, termasuk peningkatannya. Pada tahun 2012, total ekuitas perusahaan sebesar Rp8,5 triliun dan mengalami penurunan sekitar Rp1 triliun menjadi Rp7,55 triliun pada tahun 2013. Penurunan ini disebabkan perusahaan melakukan pembelian saham dengan nilai sebesar Rp1,7 triliun, yang dilaporkan pada arus kas di 2013.
Selanjutnya, ekuitas perusahaan terus mengalami kenaikan menjadi Rp8,5 triliun (2014), Rp9,3 triliun (2015), Rp10,5 triliun (2016), dan di akhir tahun 2017 telah mencapai Rp13,8 triliun.
Bila ekuitas tersebut dikaitkan dengan laba bersih perusahaan maka laba bersih sebesar Rp2,9 triliun pada tahun 2013 dan menurun menjadi Rp1,85 triliun pada tahun 2013. Dugaannya, pembelian saham perusahaan tidak lain hanyalah sebuah teknis demi menaikkan laba bersih per saham perusahaan, menghindari kejatuhan yang tajam. Laba bersih ini terus meningkat, tetapi cukup kecil sekali menjadi Rp1,86 triliun (2014) dan Rp2,04 triliun (2015). Laba bersih ini mengalami penurunan yang kecil menjadi Rp2,02 triliun (2016), kemudian terus meningkat tajam pada tahun 2017 menjadi Rp4,55 triliun atau terjadi peningkatan melebihi 100%.
Bila mengamati efisiensi perusahaan untuk mendapatkan keuntungan, pertama kali yang perlu diperhatikan adalah rasio gross profit terhadap penjualan. Rasio ini sebesar 43,89% pada tahun 2013. Di tahun yang sama, rasio ini mengalami penurunan menjadi 30,90%. Terus turun lagi menjadi 29,99% pada tahun 2014. Volume dan harga penjualan yang drop adalah penyebab turunnya rasio ini. Selanjutnya, rasio ini meningkat menjadi 30,14% (2015); 31,31% (2016); dan terus meningkat hampir sama dengan tahun 2012 menjadi 43,69%. Bila volume dan harga penjualan bisa dinaikkan, rasio ini normalnya sekitar 40%. Diharapkan perusahaan mampu mengelola sehingga rasio ini bisa bertahan di angka tersebut.
Perusahaan harus bisa mempertahankan mutu yang dihasilkan. Dalam rangka ini, perusahaan telah mendapatkan pengakuan lewat sejumlah sertifikasi mutu, yakni sertifikasi ISO 9001:2015, ISO 14001:2015, dan OHSAS 18001:2007 yang diterbitkan oleh PT TUV SUD Indonesia. Adanya beberapa sertifikasi yang dimiliki perusahaan membuat produk perusahaan lebih dipercaya. Pada sisi lain, perusahaan juga mendapatkan kepercayaan dari berbagai pihak, terutama dalam keberlanjutan bisnis maupun lingkungan. PTBA memperoleh penghargaan sebagai salah satu perusahaan terbaik dalam Sustainable Business Award 2014 melalui operasional penambangan berwawasan lingkungan dari pihak independen yang bekerja sama antara PricewaterhouseCoopers (PwC), Kadin Indonesia, dan Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD).
Di sisi lain, PTBA sedang merencanakan ekspansi yang lebih besar dengan memproduksi dimethyl ether (DME) yang merupakan produk hasil hilirisasi batubara. Diperlukan investasi sebesar US$10 miliar atau setara Rp140 triliun untuk biaya produksinya. Akibatnya, perusahaan harus mendapatkan dana tersebut—yang bisa saja diperoleh dari saham atau obligasi. Kelihatannya manajemen perusahaan menginginkan obligasi internasional yang bisa ditawarkan ke investor di pasar internasional. Tindakan ini membuat perusahaan bisa menjadi perusahaan multinasional karena sudah mulai masuk ke bisnis internasional dengan pendanaan dari pasar internasional.
Perusahaan ini diproyeksikan bakal menghasilkan penjualan antara Rp22-Rp23 triliun pada tahun 2018, sedangkan penjualan 2019 meningkat menjadi Rp26-Rp27 triliun. Dengan penjualan sebesar nilai tersebut dan net profit margin sebesar 23,5%, laba bersih perusahaan akan berada di kisaran Rp5,3 triliun, dan laba bersih sebesar Rp495 per saham untuk periode 2018. Sementara untuk periode 2019, laba bersih diproyeksikan sebesar Rp6,23 triliun dan laba bersih per saham sebesar Rp580 per saham. Bila harga saham ini diperdagangkan pada harga Rp3.910 maka saham ini berada di PER 7,9x pada laba bersih 2018 dan 6,74x pada tahun 2019. Artinya, saham ini sangat layak dikoleksi sebagai investasi dengan horizon yang panjang.
Berdasarkan uraian sebelumnya, perusahaan ini perlu melakukan inovasi baik dalam produk yang dihasilkan maupun pengelolaan perusahaan agar bisa berlari dengan kencang. Harga batu bara juga menjadi salah satu faktor penting yang membuat kinerja perusahaan cemerlang dan bisa lari kencang.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: