Transformasi Bisnis di Era Disrupsi
Oleh: Roy Sembel, Profesor di IPMI International Business School
Secara akal sehat, tidak mungkin manusia biasa mengalahkan superhero yang memiliki kemampuan jauh di atas manusia biasa. Kendati begitu, dalam film layar lebar Batman vs Superman, ternyata Batman yang sebenarnya manusia biasa, bisa mengalahkan Superman yang memiliki kekuatan bawaan sebagai superhero.
Menurut sejarah ceritanya, Superman (Clark Kent) memang sudah memiliki kekuatan super sejak kecil. Pasalnya, Clark Kent adalah "manusia" yang berasal dari Planet Krypton. Semua orang Krypton akan memiliki kekuatan super jika berada di bumi.
Sementara itu, Batman (Bruce Wayne) hanyalah seorang manusia biasa yang lahir dari keluarga kaya raya. Saat masih kecil, Bruce termasuk anak penakut dan sempat jatuh ke dalam sumur tua yang berisi banyak kelelawar. Setelah melalui jatuh bangun kehidupan dan berkelana mencari ilmu bela diri, Bruce bertransformasi menjadi kesatria tangguh.
Meski begitu, Bruce—sebagai Batman—tidak akan mampu masuk ke dalam jajaran superhero jika tidak didampingi Alfred sebagai rekan, mentor, dan pengasuhnya, serta dibekali teknologi canggih yang dikembangkan oleh perusahaan milik keluarganya, Wayne Enterprise.
Dalam laga melawan Superman, Batman mengerahkan semua sumber daya berupa kekuatan, kecerdasan, kelihaian, kecanggihan teknologi, kerja sama, pengetahuan tentang medan perang, serta kelemahan lawannya. Sementara itu, Superman tampaknya terlalu percaya diri (overconfident) dengan menjalankan strategi business as usual-nya dengan mengandalkan kekuatan supernya saja.
Pelajaran bagi Pebisnis
Cerita Batman vs Superman tersebut ada relevansinya bagi dunia bisnis yang sedang berada pada era disrupsi. Superman mencerminkan perusahaan-perusahaan petahana yang sudah mapan. Mereka memiliki kekuatan super dan merasa posisi mereka sudah kuat tak terkalahkan sehingga cenderung terlalu percaya diri (overconfident). Mereka terbiasa bekerja dengan cara-cara lama yang dulunya berhasil membawa mereka sukses ke posisi saat ini.
Mereka tidak sadar atau tidak mau menerima kenyataan bahwa zaman telah berubah. Di era ekonomi baru yang ditandai dengan disrupsi di berbagai bidang ini, menggunakan cara-cara lama dan hanya mengandalkan kekuatan tidak akan cukup. Para petahana di bidang transportasi (taksi) sudah merasakan pahit getirnya "kejutan Batman" dari para startup transportasi online, saat nasi telah menjadi bubur.
Para pebisnis petahana bisa belajar dari Bruce "Batman" Wayne dalam hal bertransformasi. Transformasi yang dilakukan Batman dilaksanakan secara terpadu dan menyeluruh. Dalam bahasa bisnis, transformasi yang perlu dilakukan oleh para pemimpin bisnis terhadap perusahaannya dalam menghadapi era disrupsi saat ini mencakup lima hal. Agar mudah diingat, saya akan pinjam istilah komputer untuk memaparkannya.
Pertama, transformasi brainware. Ini maksudnya adalah membangun kapasitas modal manusia (human capital). Dalam era perubahan yang serba cepat dan banyak hal bisa berubah menjadi usang, perusahaan memerlukan sumber daya manusia dengan hard skills (teknik dan fisik) dan soft skills (self management, berelasi dengan orang lain, dan berinteraksi dengan lingkungan alam) yang sesuai dengan pekerjaannya.
Kedua, transformasi software. Software atau "piranti lunak" yang dimaksud di sini adalah organisasi dan cara kerja. Kebanyakan perusahaan petahana besar telah membangun organisasi birokratis yang berlapis-lapis sehingga pengambilan keputusan dan tindakan relatif lama.
Di tengah perubahan yang serba cepat saat ini, diperlukan organisasi dan cara kerja yang fleksibel, cepat mengambil keputusan dan tindakan. Untuk itu, dibutuhkan organisasi yang lebih bersifat adhocracy (sebagai lawan dari bureaucracy) berstruktur matrix (sumber daya vs tugas) dengan mengandalkan pendekatan taskforce (gugus tugas) lintas divisi atau lintas silo. Kata kunci untuk transformasi software ini: membuat perusahaan menjadi bisa bergerak cepat, lincah, dan gesit (quick, agile, and nimble).
Ketiga, hardware. Seperti halnya Bruce memanfaatkan teknologi yang tepat dan tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik manusianya, perusahaan perlu menggunakan teknologi yang tepat dalam bersaing. Teknologi yang tepat bukan hanya sekadar perangkat keras (komputer dan sebagainya) melainkan juga teknologi seperti big data analytics untuk menyediakan produk dan jasa yang tepat sesuai kebutuhan dan keinginan pelanggan yang beragam dan cepat berubah.
Keempat, interface atau marketware. Produk atau jasa yang dibutuhkan dan diinginkan pelanggan saat ini bisa jadi sudah berubah dan berbeda dengan produk atau jasa yang sebelumnya pernah membawa perusahaan menjadi besar seperti saat ini. Sesuai dengan anjuran Marshall Goldsmith kepada para pemimpin bisnis: what got you here won’t take you there. Perusahaan juga wajib menyesuaikan produk dan jasanya sesuai dengan perkembangan zaman. Disrupsi yang telah dialami industri taksi dan retail, juga yang sedang berlangsung di industri jasa keuangan, telah membuktikan hal itu.
Kelima, operating system atau cultureware. Kesuksesan bisa berbahaya karena berpotensi menimbulkan rasa puas diri. Menurut perusahaan konsultan multinasional terkemuka, McKinsey & Co, perusahaan petahana yang terdisrupsi cenderung secara tidak disadari membentuk "budaya" 6C yang perlu ditransformasi, yaitu complacency (puas diri), conventional mindset (sikap pikir yang konvensional), cannibalization fears (takut kanibalisasi produk/jasa yang ada), channel conflict fears (takut terjadi saluran distribusi yang saling silang), curse of the deep pocket (kutukan karena merasa aman sudah punya banyak uang), dan current income focus (berfokus hanya pada penghasilan jangka pendek selama masa jabatannya).
Operating system juga mengacu kepada model bisnis yang digunakan. Dalam era ekonomi lama, kepemilikan aset khususnya aset kasat mata (tangible assets) merupakan pencipta nilai tambah dan ukuran keberhasilan. Dalam era ekonomi baru dan ekonomi digital saat ini, perusahaan transportasi online tidak perlu memiliki mobil atau motor untuk berhasil. Perusahaan reservasi hotel tidak perlu memiliki hotel untuk berhasil.
Kesimpulannya, kepemilikan tidaklah menjadi pencipta nilai tambah. Akses terhadap penguasaan penggunaan aset tersebutlah yang menjadi kunci pencipta nilai tambah. Dengan menjalankan transformasi terpadu dan menyeluruh tersebut, perusahaan bisa bertransformasi dari Bruce Wayne yang frustrasi dan tak berdaya terhadap era disrupsi, menjadi Batman yang bisa mengalahkan tantangan ekonomi digital setangguh Superman. Selamat mencoba.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: