PT Hero Supermarket Tbk (HERO) menyatakan bahwa hingga saat ini industri ritel di Tanah Air masih menantang. Hal tersebut terlihat dari hasil penjualan modern trade, baik super atau pun hiper perseroan yang masih dalam tren negatif atau turun 3,4% di semester pertama 2018.
Meski begitu, perkembangan menggembirakan terpampang dari bisnis modern trade minimarket perseroan yang tumbuh 9,1% sepanjang enam bulan pertama tahun ini.
“Jadi ada perilaku konsumen yang berubah akhir-akhir ini. Ini jadi input kami untuk meningkatkan experience pelanggan agar menambah kunjungan ke toko. Jadi, ini memang jadi tantangan bagi kami," ujar Ilauddin Sophan dalam papan publiknya di Tanggerang, Kamis (4/10/2018).
Kondisi tersebut pun mempengaruhi penjualan perseroan pada semester I-2018 ini anjlok 1,1% menjadi Rp6,84 triliun dari Rp6,92 triliun di periode yang sama tahun sebelumnya.
Pada semester pertama, perseroan mencatat terdapat penurunan sebesar 6,6% pada bisnis penjualan makanannya menjadi Rp5,43 triliun dari Rp5,81 triliun. Namun, bisnis nonmakanan berhasil naik 27,5% dari Rp1,11 triliun di semester pertama 2017 menjadi Rp1,41 triliun hingga akhir Juni 2018.
"Pertengahan pertama 2018, akibat situasi yang cukup berat di modern trade. Food turun 6,6% dibanding periode yang sama tahun lalu. Tapi dikompensasi pertumbuhan yang cukup menggembirakan di non-food yang tumbuh 27,5%. Sehingga, penjualan berkurang 1,1% itu flat. Kontribusi dari non-food juga terlihat makin besar," terangnya.
Ilauddin mengungkapkan jika penurunan penjualan menjadi faktor utama terkoreksinya laba bersih perseroan. Di mana, pada akhir semester pertama 2018 perseroan hanya membukukan laba sebesar Rp34 miliar, runtuh 52% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya Rp71 miliar.
"Dari penurunan penjualan mengakibatkan keuntungan turun Rp37 miliar. Kami pun telah melakukan kegiatan untuk menyehatkan perusahaan, dengan melakukan efisiensi di sektor energi salah satunya," ungkap Ilauddin.
Untuk itu, perseroan memutuskan untuk mengerem ekspansi di tahun ini. Salah satunya, dengan menurunkan dana belanja modal atau Capital Expenditure (capex) yang dialokasikan untuk penambahan toko baru.
"Jadi, kami selektif untuk pembelanjaan modal. Porsi untuk pembukaan toko baru berkurang karena kami coba review toko yang sudah ada. Jadi, bukan tidak ada buka toko baru. Memang tidak sebesar 2017 karena kondisi pasar masih lemah. Kami review untuk strategi yang lebih menguntungkan," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: