Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Daya Saing Indonesia Masih di Bawah Malaysia, Ini Sebabnya

Daya Saing Indonesia Masih di Bawah Malaysia, Ini Sebabnya Kredit Foto: WE
Warta Ekonomi, Jakarta -

Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir mengatakan pendidikan tinggi di Indonesia masih lebih banyak berorientasi pada bidang akademik, bukan peningkatan komptensi lulusan.

"Kemampuan lulusan pendidikan tinggi kita masih jauh dari yang diperlukan dunia industri. Itu salah satu faktor daya saing kita masih rendah," kata Nasir saat memberikan orasi ilmiah di hadapan wisudawan Universitas Yudharta Pasuruan di Pasuruan, Minggu.

Nasir mengatakan daya saing global Indonesia berada pada posisi 36 dari 137 negara, masih di bawah Singapura yang berada pada posisi ketiga, Malaysia di posisi 23 dan Thailand di posisi 32.

Padahal, jumlah penduduk Indonesia merupakan yang terbanyak keempat di dunia, setelah China, India dan Amerika Serikat. Jumlah penduduk Indonesia 262 juta jiwa, sedangkan jumlah penduduk China mencapai 1,4 miliar lebih.

Dari segi jumlah perguruan tinggi, Indonesia memiliki lebih banyak daripada China. Indonesia memiliki 4.600 perguruan tinggi, sedangkan China hanya 2.824 perguruan tinggi.

"Jumlah penduduk kita seperenam China, perguruan tinggi kita dua kalinya. Namun, daya saing kita masih kalah," katanya.

Karena itu, Nasir menilai ada yang salah dalam pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia. Pendidikan tinggi harus berorientasi pada peningkatan kompetensi lulusan, bukan semata akademik.

Saat awal menjadi menteri, Nasir mengatakan hanya ada dua perguruan tinggi Indonesia yang masuk peringkat 500 besar dunia, itu pun mendekati peringkat 500.

"Saat ini, di tahun 2018, sudah ada tiga perguruan tinggi, yaitu Universitas Indonesia di peringkat 292, Institut Teknologi Bandung di peringkat 340 dan Universitas Gadjah Mada di peringkat 391," jelasnya.

Selain itu, pada rentang peringkat 500 hingga 600, sudah ada lima perguruan tinggi dan tujuh perguruan tinggi pada rentang peringkat 600 hingga 700.

"Padahal di China, ada belasan perguruan tinggi yang masuk peringkat 500 besar dunia," ujarnya.

Karena itu, Nasir berharap lulusan Universitas Yudharta mempersiapkan diri dalam persaingan global di era revolusi industri 4.0.

Menurut Nasir, revolusi industri 4.0 telah membawa lompatan teknologi yang lebih pesat daripada sebelumnya.

"Lompatan teknologi itu kita rasakan dalam kehidupan sehari. Dulu kalau mau naik kendaraan umum, kita harus menunggu di pinggir jalan. Saat ini, dengan Gojek, kita bisa mengirim pesan langsung kepada pengemudi dan dijemput di rumah," tuturnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Annisa Nurfitri

Bagikan Artikel: