Saat ini Indonesia sedang mengalami empat disrupsi (konteksnya perubahaan besar - redaksi), yakni disrupsi teknologi, disrupsi politik, disrupsi kepemimpinan, dan disrupsi agama.
Tiga disrupsi pertama tercermin dalam diskusi Outlook Ekonomi 2019 yang baru-baru ini diselenggarakan Warta Ekonomi dengan para pembicara, yakni Suahasil Nazara (Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementrian Keuangan), Yohanes Santoso Wibowo (Deputi Komisioner Pengaturan dan Pengawasan Terintegrasi OJK), Raden Pardede (Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Moneter Fiskal dan Publik Kadin), Firmanzah (pengamat ekonomi), dan Shinta Kamdani (Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia).
Satu disrupsi lagi terlihat dalam acara saresehan Reaktualisasi Relasi Agama dan Budaya di Indonesia yang diadakan di DI Yogyakarta pada 2-3 November 2018 lalu.
Disrupsi teknologi yang dibawa oleh perubahan teknologi digital (termasuk digital printing), artificial intelligence, dan revolusi bioteknologi telah mengubah cara berbisnis. Bagi masyarakat yang kreatif, disrupsi teknologi bisa menjadi terobosan untuk mengembangkan bisnis lebih hebat lagi. Tapi, bagi yang tidak siap akan menyebabkan kehancuran.
Disrupsi ini, menurut future expert Gerd Leonhard, memasukkan kita ke sebuah era unlearned. Artinya, apa yang sebelumnya sudah dipelajari di masa lalu tiba-tiba menjadi berubah. Hal ini diakibatkan oleh perkembangan teknologi yang terlalu cepat. Alhasil, meminjam istilah Thomas Friedman, kita memasuki apa yang disebutnya sebagai age of acceleration. "Di era ini kecepatan belajar manusia tidak akan mampu mengikuti kecepatan perkembangan teknologi," kata Friedman.
Disrupsi politik dan ekonomi tercermin dari munculnya para pemimpin baru yang cenderung lebih populis. Isu-isu populis -- yang akan membagi masyarakat dalam kelompok kami dan mereka -- menjadi dagangan politik yang akan membahayakan bangsa di masa depan. Bagi masyarakat yang merasa terpinggirkan, hal ini akan menjadi daya tarik hebat. Pilkada Jakarta adalah salah satu bukti keberhasilan strategi (bukan ideologi -- redaksi) populisme tersebut.
Populisme tidak hanya subur di Indonesia. Presiden AS Donald Trump dengan slogan Make America Great Again adalah salah satunya. Demikian juga Vladimir Putin (Rusia) dan Recep Tayip Erdogan (Turki). Akibatnya, masyarakat menjadi terkotak-kotak. Kalau di Indonesia bisa dipakai isu agama, di Eropa dan AS yang laku adalah isu migrasi dan Islamophobia. Tapi pada intinya, masyarakat dihadapkan pada ketakutan. Para pemimpin populis berusaha untuk memenuhi kebutuhan rasa aman akan ketakutan tersebut dengan janji-janji merebut kekuasaan dari kaum mapan.
Di level global akibatnya muncul kebijakan proteksionisme. Perang Dagang antara AS dan China adalah salah satu dampak dari proteksionisme Trump yang ingin melindungi perekonomian AS. Akibat dari proteksionisme ini maka peran AS sebagai polisi dunia mulai menurun. Di WTO kini seolah jadi WTI-1 karena AS lebih mementingkan diri sendiri. Demikian juga di PBB, jadi PBB-1 karena egoisme AS.
Hasil Pemilu Sela AS yang memunculkan Partai Demokrat memenangi pemilihan DPR AS mulai menunjukkan kemungkinan titik balik. Hasil pemilu ini menggambarkan rakyat AS sedikit muak dengan kebijakan Trump yang terlalu egois. Paling tidak program-program kerja Trump bakal dihambat di ruang DPR, tapi bagaimanapun Trump masih tetap presiden sampai dua tahun lagi.
Maka benar kalau Presiden Jokowi berkata bahwa winter is coming karena negara-negara besar sibuk bertarung dengan negara besar lain. Indonesia hanya bisa mempersiapkan diri terhadap dampak-dampaknya. "Faktor eksternal tidak dapat kita kendalikan," ujar Suahasil.
Semua pembicara juga sepakat bahwa para pengusaha dan regulator Indonesia sebaiknya bersiap-siap menghadapi berbagai kemungkinan. Jangan khawatir, kata Suahasil, fundamental ekonomi Indonesia kuat dan resilient terhadap perubahan. Tapi, ya itu tadi, faktor eksternal memang tidak dapat kita kendalikan.
Disrupsi Agama: Tantangan bagi Dunia Bisnis
Disrupsi digital, disrupsi politik, dan disrupsi kepemimpinan saat ini sedang mewabah di dunia. Disrupsi-disrupsi yang akan mewarnai dunia pada tahun ini dan tahun depan. Disrupsi yang juga akan mempengaruhi dunia bisnis.
Kini muncul juga disrupsi agama. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan disrupsi agama berpotensi mengganggu, bukan saja iman umat, tapi hubungan sosial antara keyakinan dan kenyataan sosial serta kultural lokal di mana umat berada.
Dalam saresehan Reaktualisasi Relasi Agama dan Budaya di Indonesia, para budayawan dan agamawan membahas era disrupsi agama. Mereka membahas radikalisasi agama yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Menurut Lukman, penghayatan dan pengamalan praktik-praktik keagamaan di seluruh sudut negeri ini terbukti dalam sejarah panjang terintegrasi secara positif konstruktif dan produktif dengan praktik-praktik kebudayaan di setiap satuan etnik yang dimiliki bangsa Indonesia.
Tampaknya, terbukanya informasi via internet telah membuka mata banyak orang di berbagai penjuru dunia. Kini kejadian pengeboman di Afghanistan, misalnya, bisa langsung dilihat di Garut, Jawa Barat, hanya dalam hitungan menit. Terbukanya informasi dalam persepktif tertentu (tergantung kepandaian editingnya) akan sampai ke pihak lain dalam perspektif yang dia yakini pula. Akibatnya masyarakat terbelah.
Saya mengalami di berbagai grup WhatsApp, perdebatan agama membuat kita terpecah. Sampai-sampai grup WA teman sekolah pun bisa terbagi dua, yang nasionalis dan kanan. Sialnya, di era media sosial ini muncul pula hoax dan fake news. Karena kepentingan-kepentingan tertentu, muncul "industri hoax". Akibatnya, kebenaran informasi kini bisa difabrikasi sesuai kebutuhan pihak-pihak tertentu. Ini menambah tajam perbedaan sudut pandang yang terjadi.
Menjelang Pilpres ini bisa menjadi berbahaya karena ada kaum populis yang berkeinginan membagi masyarakat menjadi kami dan mereka. Mungkin ini tantangan bagi dunia IT dan dunia informasi. Misalnya saja di grup kelompok sekolah, tak banyak yang menyadari bahwa pandangan yang terlalu radikal bisa membawa Indonesia terpecah seperti di Timur Tengah. Tak sedikit yang ingin berhijrah ke negara-negara yang dikuasai ISIS tanpa mengetahui fakta yang sesungguhnya terjadi.
Mungkin kalau ada engine yang bisa masuk otomatis ke medsos untuk memberikan referensi terhadap kata kunci tertentu maka akan membantu. Misalnya, ada referensi tentang ISIS dari sumber yang otoritatif ketika diskusi itu muncul di grup WA. Dengan demikian, diskusi-diskusi tidak akan ngalor-ngidul tanpa referensi yang otoritatif. Keputusan yang diambil, apapun itu, paling tidak sudah mempertimbangkan situasi tertentu. Bukan hanya karena keputusan emosional atau ingin menang berdebat.
Impian yang terlalu jauh? Saya kira tidak juga. Kemajuan teknologi, sekali lagi mengutip Thomas Friedman, jauh lebih cepat dari kemampuan belajar manusia. Artinya, bukan tidak mungkin engine (berbentuk software) dalam platform big data tersebut bisa terwujud dalam waktu segera.
Perusahaan Harus Adaptif
Bagaimana gambaran dahsyatnya disrupsi teknologi bagi perusahaan-perusahaan? Saya biasanya mengutip pandangan Menkominfo Rudiantara yang menyatakan bahwa bank terbesar di masa depan adalah Go-Jek. Lho? Sekarang mereka bisa mengumpulkan uang dari masyarakat, melakukan trasanksi Go-Pay, memiliki big data yang luar biasa. Kalau tidak dibatasi oleh regulasi, Go-Jek bisa menjadi raksasa di berbagai bidang bisnis dengan kemampuan teknologinya.
Sayangnya, revolusi dahsyat ini masih belum terbaca oleh banyak para pemimpin perusahaan. Kenapa? Dalam berbagai penelitian terungkap bahwa di level strategis saat ini para penghuni ruang board of directors (BOD) masih dikuasai generasi X dan generasi baby boomers, sementara generasi milenial -- yang dianggap lebih melek teknologi -- kebanyakan baru sampai pada tingkat manajer.
Mengingat perbedaan yang begitu tajam antara kedua generasi tersebut, diperlukan "jembatan penghubung" antara keduanya. Keberhasilan perusahaan-perusahaan startup menjadi unicorn memunculkan kesadaran baru di kalangan pemimpin perusahaan generasi baby boomers. Para pemimpin bisnis ini mulai menanggalkan ego dan bersikap adaptif terhadap perusahaan-perusahaan yang lahir dari kamar kost tersebut.
Astra International, misalnya, menanamkan modal di Go Jek. Blue Bird, perusahaan taksi yang sempat kelenger dihajar taksi online Grab, mulai berdaptasi, termasuk membuat kerja sama dengan Go-Jek. Presdir BCA Jahja Setiaatmadjamengatakan bahwa 70% karyawan BCA kini kaum milenial. Presdir Astra International Prijono Sugiarto mengatakan hal sama.
Bank Rakyat Indonesia (BRI) bebenah lebih jauh lagi. Bank dengan laba terbesar di Indonesia ini menggandeng Indra Utoyo, mantan direksi Telkom untuk memperkuat visi terhadap disrupsi teknologi. BRI ingin memanfaat puluhan jutaan nasabah yang tersebar di berbagai penjuru Indonesia dengan teknologi big data. Dengan memiliki satelit dan disaster recovery centre sendiri, BRI tampaknya sudah siap menyongsong era baru ini.
Tantangannya dalah mengubah mindset karyawan. Maklum, bisnis perbankan dan bisnis IT mempunyai karakteristik yang bertolak belakang. Daftar nama-nama perusahaan yang adaftif masih banyak dengan tingkat kesiapan berbeda-beda. Demikian juga daftar perusahaan yang tidak siap menyambut era disrupsi ini. Anda ada di mana?
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Muhamad Ihsan
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: