BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) perlu segera mengawasi dan memeriksa transaksi pembelian 51,23 persen saham PT Freeport Indonesia (PTFI) oleh PT Inalum yang menelan biaya hingga US$3,85 miliar, atau sekitar Rp56,1 triliun. Seharusnya, tak boleh ada lagi transaksi kolosal yang terjadi di ujung periode pemerintahan, agar kita tak mengulang modus skandal yang kerap terjadi menjelang pemilu.
Di periode transisi kekuasaan, yaitu saat-saat menjelang Pemilu dan Pilpres, mestinya tidak banyak keputusan-keputusan besar dan strategis yang dieksekusi, karena rawan terjadi penyalahgunaan kekuasaan di dalamnya. Sudah cukup skandal Bank Bali, SKL (Surat Keterangan Lunas) BLBI, dan skandal besar lain tiap menjelang pemilu. Untuk itu, BPK dan KPK saya kira perlu segera mengawasi serta memeriksa transaksi besar ini, apakah ‘clear’ dan ‘clean’ ataukah tidak. Ada dua isu awal yang perlu diselidiki, yaitu apakah nilai transaksinya wajar, dan apakah timing-nya tepat.
Ketika kita bicara soal Freeport, sejak awal kebijakan pemerintah tidak konsisten dan transparan. Masalah kita kan awalnya ada dua. Pertama, Freeport ini banyak melanggar ketentuan undang-undang dan juga kontrak, mulai dari tidak memenuhi ketentuan divestasi saham, kewajiban membangun smelter, wanprestasi pembayaran royalti, dan banyak kewajiban lain yang diatur baik dalam Kontrak Karya maupun dalam UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Jadi, ada isu penegakan hukum di sini.
Kedua, soal perpanjangan kontrak atau operasi, yaitu apakah Freeport akan diteruskan operasinya sesudah tahun 2021 ataukah tidak. Isu kedua ini adalah soal politik. Jadi, menurut saya, masalah awalnya adalah dua hal itu. Tapi dalam perjalanannya ternyata terjadi pembelokan substansi, karena kedua masalah itu kemudian dijadikan masalah politik.
Menteri Luhut Panjaitan pernah menyatakan di DPR bahwa kontrak PTFI akan dibiarkan habis baru kemudian diurus. Tapi kenyataannya kan lain. Kewajiban divestasi saham hingga 51 persen, yang merupakan tuntutan Kontrak Karya II dan juga UU No. 4/2009, yang semula merupakan persoalan hukum, akhirnya dilarikan menjadi persoalan politik karena digunakan sebagai pintu masuk untuk memperpanjang operasi Freeport sebelum waktunya.
Kalau kita konsisten dengan undang-undang, Freeport sebenarnya baru bisa mengajukan perpanjangan pada 2019 ini. Tapi perundingan ini kelihatan basisnya bukan undang-undang, melainkan hanya Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri ESDM yang terus-menerus diotak-atik dan disesuaikan untuk kepentingan Freeport.
Itu sebabnya saya heran, kenapa hari ini muncul framing seolah pembelian 51 persen saham Freeport yang menggunakan duit utangan itu dianggap sebagai kemenangan perundingan pihak kita. Padahal jelas-jelas Freeportlah yang memenangkan seluruh proses perundingan ini. Framing kemenangan tadi saya kira sangat membodohi.
Kita perlu mendalami persoalan ini. Pasca-transaksi pembelian saham kemarin, menurut saya setidaknya ada lima persoalan yang harus dijawab pemerintah. Pertama, basis legalitas perundingan tersebut, kenapa ada pembelokan substansi dan lain sebagainya, yang tak sesuai dengan UU No. 4/2009.
Kedua, sesudah PT Inalum menjadi pemegang saham mayoritas PTFI, kita perlu mempertanyakan bagaimana Pemerintah akan menagihkan kewajiban-kewajiban hukum Freeport yang seharusnya ditunaikan sebelum proses pembelian saham ini berlangsung? Misalnya, soal kewajiban membangun smelter yang nilai investasinya mencapai US$2,6 miliar. Siapa yang akan membiayai? Apakah investasi pembangunan smelter itu, yang mestinya telah dilakukan Freeport sejak 2009 silam, juga akan dibiayai menggunakan uang US$3,85 miliar?
Siapa, misalnya, yang akan membayar denda Rp460 miliar yang harus dibayarkan Freeport karena telah menggunakan hutan lindung tanpa izin? Jangan lupa, denda itu wajib dilunasi dalam dua tahun ke depan.
Jadi, sangat menggelikan jika semua kewajiban tadi pada akhirnya justru harus dibayar oleh kita sendiri. Lalu, di mana klaim kemenangan yang kini sedang digembar-gemborkan Pemerintah?!
Ketiga, kita perlu mempertanyakan langkah Inalum membeli saham PTFI menggunakan global bond. Sebab, dalam aturan global bond, kita tak bisa melarang kalau Freeport MacMoran yang semula menjadi pemegang saham mayoritas PTFI ikut membeli global bond yang diterbitkan Inalum. Masalahnya, jika global bond Inalum yang digunakan untuk membeli Freeport Indonesia juga dipegang oleh Freeport McMoran, bukankah ini hanya dagelan belaka?
Saya kira kita juga perlu memeriksa data pemegang global bond Inalum dan afiliasinya, untuk mengetahui apakah ada kongkalikong dalam transaksi ini atau tidak.
Keempat, masih terkait penerbitan global bond oleh PT Inalum, kita juga perlu mempertanyakan menggelembungnya utang BUMN dalam tiga tahun terakhir. Menurut saya utang BUMN ini adalah persoalan serius yang harus diawasi secara cermat.
Dengan penerbitan global bond sebesar US$4 miliar, PT Inalum kini memiliki kewajiban utang global yang besar sekali. Inalum diperkirakan harus membayar beban kupon sebesar Rp1,7 triliun setiap tahun. Ini bisa menempatkan perusahaan tersebut pada posisi berisiko.
Masalahnya, Inalum bukan satu-satunya BUMN yang harus menerbitkan surat utang global akibat beban penugasan yang sangat besar oleh pemerintah. Sebelumnya PT PLN (Perusahaan Listrik Negara) juga telah menjual global bond senilai US$5miliar. PT Pertamina tahun ini telah menerbitkan global bond Rp11,2 triliun dari target US$4 miliar. Pada 2017 lalu, Jasa Marga juga telah melepas global bond berdenominasi rupiah senilai Rp4 triliun dengan kupon 7,5 persen.
Dalam catatan saya, antara 2016 hingga 2018, jumlah utang BUMN kita telah meningkat hingga 132,92 persen. Pada 2016, utang BUMN tercatat baru Rp2.263 triliun, namun per September 2018 jumlahnya telah tembus Rp5.271 triliun. Artinya, dalam dua tahun terakhir utang BUMN kita melonjak Rp3.008 triliun.
Dari BUMN sektor non-keuangan, sektor ketenagalistrikan menyumbang utang sebesar Rp543 triliun, atau 28 persen dari total utang BUMN non-keuangan. Kemudian BUMN sektor migas menyumbang utang sebesar Rp522 triliun (27%), sektor properti dan konstruksi Rp317 triliun (15%), sektor telekomunikasi Rp99 triliiun (5%), sektor transportasi Rp75 triliun (4%), dan sektor lain-lain Rp403 triliun (20%). Itu angka yang besar sekali.
Masalahnya, jumlah utang yang menggelembung itu berbanding terbalik dengan kinerja pendapatan BUMN. Dalam tiga tahun terakhir, pendapatan BUMN hanya naik Rp326 triliun. Padahal, pada periode 2012-2014, saat utang BUMN ‘hanya’ naik Rp824 trilun, total pendapatan BUMN pada periode itu mencapai Rp5.393 triliun. Artinya, utang baru BUMN sebenarnya tidak produktif.
Pada saat bersamaan, kerugian BUMN tercatat terus meningkat. Saya mencatat, memasuki September 2018 kinerja BUMN besar justru kian memburuk. Hingga kuartal III-2018, PLN, misalnya, telah menderita kerugian hingga Rp18,48 triliun. Padahal, periode yang sama tahun lalu PLN masih mengantongi laba bersih Rp3,05 triliun. Total kerugian BUMN-BUMN besar itu kini mencpai Rp26,95 triliun.
Angka-angka tadi membuktikan penugasan pembangunan infrastruktur atau keperluan pencitraan yang selama ini diberikan oleh pemerintah terbukti membebani keuangan BUMN. Masalahnya, sejauh ini kita tak pernah melihat ada mitigasi risiko, padahal kondisinya cukup mengkhawatirkan.
Dan terakhir, kelima, untuk transaksi yang melibatkan angka puluhan triliun semacam ini, menurut saya, BPK dan KPK harus ikut memeriksa. Jangan lupa, transaksi besar ini terjadi di periode transisi kekuasaan. Potensi moral hazard-nya sangat tinggi. Jangan sampai ada tradisi transaksi besar di setiap periode menjelang Pemilu.
Itulah lima catatan menyikapi transaksi pembelian 51,23 persen saham Freeport. Saya sama sekali tidak mencium bau kemenangan atau nasionalisme dari transaksi tersebut. Itu justru adalah transaksi yang ruwet, menyimpan aroma masalah, dan menyembunyikan banyak sekali risiko.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ferry Hidayat
Editor: Ferry Hidayat