Pemerintah terus didorong untuk melakukan konversi energi bahan bakar yang berasal dari fosil menjadi sumber energi terbarukan seperti angin, sinar matahari dan arus laut. Konversi energi tersebut, saat ini digunakan sebagai bahan bakar industri dan kendaraan bermotor.
Hal itu dilakukan guna memperbaiki defisit transaksi berjalan karena impor migas turun sekaligus mengembangkan industri biodiesel dalam negeri.
Mantan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha RI (KPPU), Syarkawi Rauf mengatakan beberapa waktu lalu pemerintah telah menggulirkan biodiesel 20% (B20) yang secara perlahan sudah bisa digunakan sebagai bahan bakar. Untuk itu, ke depan pihaknya mendorong pemerintah agar tidak hanya sebatas B20 saja melainkan sampai B50. Artinya, energi khusus kendaraan bermotor atau industri menggunakan bahan bakar dengan komposisi 50% biodiesel dan 50% minyak sawit atau CPO (Crude Palm Oil) atau lebih dikenal dengan istilah B50.
"Ke depan kita akan mendorong peningkatan ketahanan energi nasional. Untuk mengurangi ketergantungan impor bahan bakar minyak yang setiap tahun kita lakukan," katanya kepada wartawan usai acara Kongkow Kaum Muda di Posko Bersama Sahabat Rakyat Indonesia, Kota Bandung, Minggu (3/2/2019).
Syarkawi menyebutkan secara nasional produksi minyak bumi setiap tahun terus menurun sementara konsumsinya cenderung naik. Sedangkan, permintaan konsumen di dalam negeri tetap tinggi. Kondisi itu memicu ketimpangan sehingga pemerintah harus melakukan konversi sumber energi.
"Solusinya, kita harus menkonversi sebagian kebutuhan BBM kita dari fosil ke Biodiesel," tegasnya.
Beberapa dampak positif bagi pertumbuhan perekonomian di dalam negeri apabila pemerintah melakukan konversi minyak diesel menjadi bio solar diantaranya, pertama, akan memperkuat nilai tukar rupiah karena ketika melakukan impor maka akan membutuhkan mata uang asing yang cukup banyak sehingga berdampak pada pelemahan rupiah terhadap Dollar AS.
"Setiap impor BBM punya kebutuhan valas yang tinggi sehingga ketika kita impor maka nilai rupiah mengalami pelemahan terhadap US Dollar," ucapnya.
Kedua, saat ini dinilai momentum yang tepat mempercepat konversi dari minyak diesel menjadi bio solar. Pasalnya, harga sawit di dalam negeri maupun internasional menngalami penurunan sehingga butuh sumber permintaan yang baru seperti bio solar atau konversi B20 road to B50.
"Jika dilakukan maka akan meningkatkan permintaan CPO sehingga akan berdampak pada kenaikan harga," imbuhnya.
Ketiga, lanjut Ekonom Universitas Hassanudin (Unhas) ini mengungkapkan bahwa konversi dilakukan sebagai mengantisipasi trend yang berkembang di pasar dunia karena selama ini pembeli kelapa sawit Indonesia yakni India, China dan eropa.
Permasalahanya, ketiga negara tersebut mengkategorikan CPO sebagai sumber energi tidak ramah lingkungan sehingga pada 2030 mereka tidak lagi mengimpor CPO. Otomatis, Indonesia harus mempersiapkan pasar yang baru.
"India juga memberlakukan bea masuk yang tinggi terhadap CPO. Ini juga menghambat kita masuk ke pasar India. Sedangkan China ekonominya mengalami perlambatan dalam beberapa tahun terakhir sehingga kebutuhan CPOnya menurun," jelasnya.
Syarkawi menambahkan jika di pasar global mengalami keterlambatan maka Indonesia sebagai salah satu produsen kelapa sawit terbesar di dunia harus memfokuskan diri di pasar domestik.
Baca Juga: Dari CPO Jadi BBM Ramah Lingkungan, Pertamina Hemat Devisa US$160 Juta per Tahun
Baca Juga: Cerita JK yang Kesulitan saat Ingin Naikkan BBM
"Kalau di pasar dunia mengalami keterlambatan mau tidak mau kita harus fokus ke pasar domestik. Salah satu pasar domestik ini, mengakselerasi konversi minyak diesel menjadi solar dalam jangka 5 tahun ke depan," ungkapnya.
Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) hingga Oktober 2018, pasokan sawit nasional berada di kisaran 4,40 juta ton. Sedangkan, Ekspor produk kelapa sawit dan turunannya pada Oktober 2018 mencapai 3,35 juta ton, naik 5% dibandingkan September 2018. Peningkatan ini, salah satunya didorong melonjaknya permintaan Tiongkok di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Meski dinilai sebagai produsen terbesar kelapa sawit di dunia, namun Indonesia tidak bisa menetapkan harga minyak sawit di pasaran global.
"Meski kita produsen terbesar tapi yang menentukan harga CPO tetap negara konsumen seperti eropa," ujarnya.
Adapun, Anggota Tim Nasional Sahabat Rakyat Indonesia, Haerudin Nurman menambahkan pihaknya terus mendorong keberhasilan pemerintah, karena era kepeminpinan Presiden Jokowi dinilai mampu membawa bangsa ini menjadi mandiri terutama dalam bidang energi.
"Kita akan terus mendorong dan mensosialisasikan keberhasilan pak Jokowi agar menjadi bangsa yang lebih mandiri," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: