Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Presiden Pejuang Energi Terbarukan

Oleh: Ananda Setiyo Ivannanto, Pengurus Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI)

Presiden Pejuang Energi Terbarukan Kredit Foto: Antara/Hafidz Mubarak A.
Warta Ekonomi, Jakarta -

Menjelang Debat Pilpres kedua yang akan berlangsung pada hari Minggu 17 Februari 2019, Indonesia berada dalam persimpangan untuk menentukan kebijakan terkait pemanfaatan sumber daya energi ke depan. Beberapa isu yang terkait dengan energi mulai dari sisi ketersediaan, aksesibilitas, perubahan iklim, dan keekonomian.

Perlu kita soroti kemampuan seorang pemimpin Indonesia ke depan dari sisi pemahaman terhadap permasalahan di bidang energi yang kompleks ini karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan juga untuk generasi ke depan.

Seperti yang sudah dibahas di Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018-2027, Undang Undang (UU) 30 2009 tentang Ketenagalistrikan menyatakan bahwa pemanfaatan energi primer harus mengutamakan energi baru dan terbarukan dan ini sudah sejalan dengan UU 30 2007 tentang Energi bahwa energi dikelola berdasarkan asas kemanfaatan, rasionalitas, efisiensi, berkeadilan, peningkatan nilai tambah, keberlanjutan, kesejahteraan masyarakat, pelestarian fungsi lingkungan hidup, ketahanan nasional, dan keterpaduan dengan mengutamakan kemampuan nasional.

UU 30 2007 menyatakan energi terbarukan (ET) adalah yang berasal dari sumber berkelanjutan jika dikelola dengan baik, dari panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu laut. Pemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional yang menetapkan target bauran ET sebesar 23% di tahun 2025 sepanjang keekonomian terpenuhi, minyak bumi kurang dari 25%; batubara minimal 30%; dan gas bumi minimal 22%. Ini juga selaras dengan RUKN 2015-2034 yang malah menetapkan target 25% untuk ET, namun batubara 50%; gas sekitar 24%; dan BBM sekitar 1%.

Baca Juga: Punya Potensi, Industri Indonesia Bisa Beralih ke Energi Terbarukan

Di Conference of Parties (COP) 21 Paris, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi karbon sebesar 29% dari level BAU pada tahun 2030 atau 41% dengan bantuan internasional.

Di level Kementerian teknis, Peraturan Menteri (PerMen) ESDM Nomor 50 2017 tentang Pemanfaatan Sumber ET untuk Penyediaan Tenaga Listrik menyebutkan bahwa dalam rangka penyediaan listrik yang berkelanjutan, PLN wajib membeli tenaga listrik dari sumber ET, dan wajib mengoperasikan pembangkit tenaga listrik secara terus menerus. Potensi ET dapat dikembangkan jika sudah memenuhi syarat adanya kebutuhan, telah melakukan studi kelayakan dan kajian penyambungan, mempunyai kemampuan pendanaan, dan harga sesuai ketentuan yang berlaku.

Indonesia mempunyai potensi ET dari panas bumi, air, bio energi, surya, angin, dan gelombang laut sebesar 443 GW. Dari seluruh potensi yang ada, Indonesia baru memanfaatkan 1,9 GW atau 0,4%, paling maksimal hydropower yang itupun baru 6,4% sedangkan yang lainnya masih di bawahnya, yang paling rendah adalah gelombang laut sebesar 0,002%. Menurut RUPTL 2018-2027, Indonesia berencana untuk bisa membangkitkan ET sebesar 14,9 GW atau 3,36% dari total potensi yang ada.

Dilihat secara regulasi dan perencanaan, terlihat adanya target dan rencana yang cukup jelas terkait dengan ET, lantas bagaimana dengan realisasinya? Jika dilihat dari sisi ini ada peningkatan dari 2017 yaitu US$1,3 miliar. Ini juga menurun dari 2016 sebesar US$1,57 miliar, setelah ada peningkatan US$0,6 miliar di 2014, dan US$1,03 miliar di 2015.

Dari sisi penurunan emisi karbon, Indonesia baru menurunkan 13,9% CO2 sebesar 43,8 juta ton per tahun, dari target 314 juta ton per tahun di 2030. Target ini apakah akan tercapai akan dipertanyakan dengan porsi batubara terhitung 54,4% atau lebih dari setengah bauran energi di tahun 2027, dan di tahun 2018 ET porsinya baru 12%. Porsi ET di program 35.000 MW juga hanya 6,7%. Dari sisi investasi, saat ini ada 75 proyek ET sedang dalam proses pengembangan total 1.581 MW tapi masih ada 30 yang belum mendapatkan pembiayaan.

Pemerintah sedang mengupayakan untuk mengoneksikan pengembang dengan Pembiayaan Investasi Non APBN (PINA). Kebutuhan energi Indonesia menurut Outlook Energi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) 2018 akan naik dari sekitar 795 juta Barrel Oil Equivalent (BOE) menjadi 1,78 miliar BOE di 2030. Jumlah pengguna mobil sudah melewati 20 juta unit dan motor sudah hampir mencapai 120 juta unit dan akan terus bertambah.

Dengan adanya kebutuhan energi ini maka menimbulkan defisit migas sebesar US$8,57 miliar per tahun, impor lebih besar dari ekspor, dan konsumsi sekitar 1,65 juta barel per hari lebih besar dari produksi 0,8 juta barel per hari, dan jaraknya yang semakin besar ke depan. Jika kondisi terus seperti ini maka menurut Kementerian Keuangan di tahun 2020 jarak menjadi 0,96 juta barel per hari dan perlu keluarkan dana hingga US$50 miliar per tahun atau sekitar Rp705,35 triliun, sekitar 37,2% dari APBN 2018.

Pertamina sebagai salah satu pelaku utama di sektor energi yang sangat terpengaruh defisit migas ini mengusulkan iklim investasi dan regulasi yang kondusif dan konsisten, Energi Baru Terbarukan (EBT) terutama Biofuel dikembangkan secara masif. Lembaga riset ekonomi Indef menyatakan investasi sektor energi butuh kepastian 20-30 tahun dan merekomendasikan penyetopan PLT Batubara dan Diesel serta peningkatan insentif untuk EBT. Kepastian ini juga yang menjadi perhatian Energy Working Group Kamar Dagang dan Industri Eropa/Eurocham di mana investor mencari prediktabilitas dan keterlibatan jangka panjang.

Baca Juga: Gaet Investasi, Sektor Energi Terbarukan dan Pariwisata Masih Jadi Andalan

Seiring dengan implementasi ET sebagai upaya untuk penurunan emisi karbon yang masih mendapatkan berbagai hambatan, tumbuhnya konsumsi energi, dan peningkatan jumlah kendaraan bermotor maka menarik disimak visi dan misi kedua capres dan cawapres terkait dengan ET.

Pasangan 01 menyatakan bahwa sebagai bagian dari kelanjutan revitalisasi industri dan infrastruktur pendukungnya untuk menyongsong Revolusi Industri 4.0, akan meneruskan dan mengokohkan pengembangan EBT termasuk memberikan akses kepada rakyat untuk mengembangkan dan mengelola sumber ET. Pasangan 02 di Program Aksi Bidang Ekonomi akan memperluas konversi BBM kepada gas dan ET dalam pembangkit listrik PLN, dan di program aksi kesejahteraan rakyat, ingin menjadikan Indonesia negara adikuasa/superpower bidang energi berdasarkan bahan bakar babati atau ET dengan memberdayakan sebagian besar dari 88 juta hektare hutan rusak menjadi lahan untuk aren, ubi kayu, ubi jalar, sagu, sorgum, kelapa, dan bahan baku bioetanol lainnya dengan sistem tumpang sari untuk mendukung kedaulatan energi nasional dan upaya menciptakan lapangan kerja baru.

Adanya komitmen dari kedua pasangan untuk pengembangan ET juga seiring pergerakan dari masyarakat sipil yang menginginkan keseriusan dari pemimpin tertinggi negara untuk ET.

Sekitar 22 organisasi yang bergerak di ET yang dikoordinasikan oleh Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) berharap delapan komitmen dari kedua kontestan PilPres 2019 antara lain untuk mendukung terbitnya UU ET yang saat ini sedang diproses di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menata ulang regulasi untuk memprioritaskan energi terbarukan untuk ketahanan energi nasional, memenuhi komitmen COP 21, melaksanakan amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2017 dalam hal akselerasi ET, merevisi peraturan-peraturan yang menghambat ET, memperhatikan keekonomian ET dengan menggunakan instrumen fiskal, memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada UKM, dan memberikan perlakuan yang sama untuk pengembang skala besar dan kecil untuk pengembangan ET.

Indonesia yang mempunyai potensi ET yang sangat besar, dengan adanya kebutuhan energi untuk industrialisasi dan transportasi yang besar ke depannya, defisit migas yang harus diatasi, dan sebagai warga negara dunia yang turut berpartisipasi aktif dalam upaya penurunan emisi karbon, harus lebih serius dalam pengembangan ET, dan dipimpin langsung oleh presiden karena menuntut lintas sektoral untuk penciptaan ekosistem usaha yang kondusif.

Visi dan misi kedua pasangan capres dan cawapres terkait ET harus diturunkan menjadi program kerja yang lebih detail, target yang kuantitatif dengan timeline yang jelas, membangun dan melibatkan SDM yang tepat dan sesuai di tempatnya. Kita harus cermat melihat apakah kedua pasangan memahami permasalahan energi yang cukup kompleks, apakah petahana mempunyai keinginan kuat dan program yang jelas untuk memperbaiki kinerjanya karena pengembangan ET saat ini masih mengalami banyak hambatan, dan apakah pesaingnya mampu menawarkan solusi yang bisa mengatasi hambatan-hambatan tersebut.

ET adalah keniscayaan dan asa untuk Indonesia bisa menjadi negara yang menarik untuk investasi baik dari dalam maupun luar negeri, sehingga rakyat semakin sejahtera dengan adanya lapangan pekerjaan baru, udara lebih bersih, produktivitas meningkat, dan mempunyai daya saing untuk siap menghadapi volatilitas, ketidakpastian, kompleksitas, dan ambiguitas era globalisasi saat ini.

Baca Juga: Kurangi Impor, Luhut Minta Produksi Energi Terbarukan Digenjot

Mari jadikan mimpi mempunyai Presiden pejuang ET menjadi kenyataan!

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: