Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Dua Tahun, Kerugian Ekonomi Akibat Pengendalian Impor Jagung Capai Rp52,16 Triliun

Dua Tahun, Kerugian Ekonomi Akibat Pengendalian Impor Jagung Capai Rp52,16 Triliun Kredit Foto: Antara/Zabur Karuru
Warta Ekonomi, Jakarta -

Demi menekan impor jagung untuk kebutuhan domestik, langkah pengendalian impor jagung yang dilakukan pemerintah, dinilai justru berimplikasi negatif lebih besar. Pasalnya, penurunan impor jagung yang terjadi karena kebijakan pengendalian, justru membuat impor gandum sebagai subtitusi pakan ternak meningkat.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) ,Yeka Hendra Fatika menuturkan, berdasarkan cost-benefit analysis, sepanjang 2016-2018, biaya yang dihasilkan dari kebijakan pengendalian impor jagung terdiri dari tiga aspek. Pertama, impor gandum pakan tercatat sebesar Rp28,58 triliun, kedua terjadi kenaikan harga pakan sebesar Rp63 triliun, ketiga subsidi benih dan pupuk untuk menggejot produksi jagung sebesar Rp8,4 triliun. Total dalam periode tersebut cost yang dikeluarkan sebesar Rp99,98 triliun

Kemudian dari sisi keuntungan, pengendalian impor jagung menghemat impor sebesar Rp33,12 triliun. Ditambah peningkatan pendapatan petani jagung sebesar Rp14,7 triliun, maka total keuntungan yang dihasilkan menjadi sebesar Rp47,82 triliun.

“Kesimpulannya, kebijakan pengendalian impor jagung (stop impor jagung) yang dilakukan oleh Kementrian Pertanian, telah mengakibatkan kerugian ekonomi sebesar Rp52,16 triliun sepanjang 2016-2018,” dalam diskusi “Data Jagung yang Bikin Bingung” yang diselenggarakan Forum Komunikasi Wartawan Ekonomi Makro (Forkem) dan Lembaga kajian Visi Teliti Saksama di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Kamis (21/2/2019).

Yeka membeberkan, selama periode 2013-2018, impor jagung rata rata memang menurun sebesar 13,8% per tahun. Namun, selama periode 2013-2018 impor gandum pakan rata rata mengalami peningkatan sebesar 296,5% per tahun.

“Jadi, kalau seperti itu, ini hanya substitusi saja. Di satu sisi kita amputasi jagung, di sisi lain kita menggelontorkan impor gandum,” serunya.

Mengikuti formula perhitungan Kementerian Pertanian (Kementan), lanjutnya, akumulasi penghematan impor jagung selama 2016-2018 sebesar 9,2 juta ton. Maka, kata Yeka, dengan cara yang sama, dapat diketahui kebijakan pengendalian impor jagung berakibat terhadap adanya akumulasi pemborosan impor gandum untuk pakan sebesar 6,35 juta ton, dalam periode yang sama.

Baca Juga: Hingga 2030, Indonesia Tak Bisa Lepas dari Impor Jagung, Kata Pengamat

Ia menuturkan, perhitungan harga jagung impor saat ini sebesar Rp 3.600/kg dan harga gandum impor sebesar Rp4.500/kg, maka ada penghematan pengendalian impor jagung sebesar Rp33,12 triliun, sekaligus pemborosan dari impor gandum sebesar Rp28,58 triliun. Alhasil, kebijakan pengendalian impor jagung berdampak terhadap peningkatan harga pakan.

“Selama 2016-2018, akumulasi kenaikan harga pakan rata rata sebesar Rp1200 per kg dengan memperhatikan akumulasi jumlah pakan ayam (layer dan broiler) selama 2016-2018 sebesar 52,5 juta ton, maka kerugian akibat penerapan kebijakan pengendalian impor jagung sebesar Rp63 triliun,” tuturnya.

Dengan meningkatnya harga jagung, pendapatan petani pun diakuinya meningkat. Dalam hitunganya, akumulasi peningkatan harga jagung ditingkat petani selama 2016-2018 sebesar Rp 300/kg. Dengan menggunakan asumsi faktor koreksi BPS sebesar 43,43%, maka produksi jagung per tahun diperkirakan sebesar 13 juta ton. Dengan demikian selama 2016-2018, akumulasi produksi jagung sebanyak 49 Juta ton dan benefit tambahan akibat peningkatan harga jagung adalah Rp14,7 triliun.

“Tersenyumnya petani diiringi dengan menangisnya peternak karena harga pakan meningkat. Padahal, dalam program peningkatan produksi jagung, ada pengeluaran subsidi jagung Rp8,4 triliun,” tuturnya.

Terus Defisit

Peneliti Utama Lembaga Kajian Visi Teliti Saksama, Nanug Pratomo menambahkan, berdasarkan hasil kajiannya, produksi pakan jagung masih akan mengalami defisit sampai 2029 untuk memenuhi permintaan domestik. Apalagi, produksi jagung domestik tidal mampu mengejar kebutuhan jagung secara mandiri karena permintaan yang terus meningkat.

"Kami melihat, hasil proyeksi menunjukkan hingga mendekati 2029-2030 ini masih akan terjadi defisit atas produksi dalam negeri di bawah dari permintaan domestik," tuturnya.

Baca Juga: Kementan Tegaskan Produksi Jagung Mencukupi Kebutuhan Pakan

Ia menyatakan, selama produksi jagung belum bisa secara penuh memenuhi kebutuhan dalam negeri, impor jagung memag mau tak mau masih dibutuhkan, setidaknya dalam jangka pendek.

Diakuinya, tren impor jagung memang sejauh ini mengalami tren penurunan. Namun, sebetulnya, terutama untuk sektor jagung olahan, beberapa tahun terakhir ini justru ada tren kenaikan.

Kebutuhan jagung sendiri, lanjutnya selama ini jauh lebih banyak digunakan untuk industri pakan. Tahun 2017, industri pakan membutuhkan pasokan hingga 27 juta ton. Paling sedikit untuk kebutuhan bibit, sekitar 3 juta ton dan mengalami kenaikan sedikit pada 2017 menjadi 4 juta ton.

“Kita sendiri harus mengubah pola pikir bahwa ada kepentingan-kepentingan lain dalam perdagangan nasional. Tidak selalu keberhasilan ekspor itu berarti sukses memenuhi kebutuhan dalam negeri. Jadi, harus dicermati lagi,” ucapnya.

Sementara itu, Anggota Presidium Agri Watch Dean Novel menuturkan, maslaah jagung yang terjadi saat ini juga tak terlepas dari kesinambungan pasokan dari dalam negeri. Selama ini, pasokan dari dalam negeri terjadi hanya saat paen raya tiba.

“Di Kementan, dikenal ada 3 musim tanam, MK 1, MK2, dan MH. Inilah yang membuat gap produksi dan yang dibutuhkan oleh pasar. Padahal, pasar membutuhkan jagung secara kontinu setiap bulan. Bahkan pabrik pakan itu butuhnya setiap hari, bukan setiap panen,” tuturnya.

Baca Juga: Impor Jagung Dibatasi, Impor Gandum Justru Meningkat

Ia mencontohkan di bula Maret—Mei saat ini merupakan puncak panen jagung di hampir seluruh Indonesia kerana jagung mulai ditanam di saat musim penghujan di akhir tahun. Efeknya, panen raya yang serempak ini justru membuat stok berlimpah pada satu waktu di satu daerah.

“Yang mau nampung siapa? Dompu (NTB) saja Sekali panen se kabupaten itu bisa 300 ribu ton. Berapa kapasitas gudang yang dimiliki oleh swasta di sana? 100 ribu ton? Enggak yakin saya,” cetusnya.

Untuk panen di Jawa Timur ia mengatakan hal tersebut masih tertolong populasi pabrik pakan ternak yang memang sekitar 47%nya berada di Jawa Timur. “Tapi, kalau di luar Jawa Timur gimana? Sulawesi? Gorontalo? NTT? Apakah sama fasilitas gudangnya dengan di Jawa Timur dan Jawa Tengah? Tidak,” ungkapnya.

Menurutnya, jika pola tanam jagung masih seperti saat ini, di satu waktu akan selalu terjadi kekosongan stok.

“Sarannya gimana? Buat sustainable farming. Jadi, Kementan ini harusnya kayak jenderal, kamu panen, kamu stop. Jadi, tidak ada lagi tanam serempak dan panen raya,” tandasnya.

Baca Juga: Indonesia Enggak Perlu Impor Jagung Lagi, Jokowi: Produksi Jagung Nambah 3,3 Juta Ton

Sekretaris Kementeri Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengakui, data yang akurat menjadi penting untuk dasar pengambilan kebijakan dalam masalah pangan strategis seperti jaung ini. Pemerintah, menuru

tnya menyadari, jika keputusan yang diambil mengakibatkan harga yang terlalu tinggi, yag dirugikan adalah peternak, yang itu juga komponen masyarakat kita. Namun, di sisi lain, kalau harga terlalu rendah, juga akan merugikan pihak produsen yakni petani jagung.

“Sebenarnya hampir semua komoditi pangan strategis, yang harus dijaga adalah kepentingan dari sisi produsen, petani, dan dari sisi konsumen, masyarakat. Pengambilan kebijakan harus mem-balance kepentingan tadi dan ini tidak mudah, pasti ada kepentingan yang berbeda, antara yang mewakili pihak konsumen dan produsen,” jelasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Yosi Winosa
Editor: Kumairoh

Bagikan Artikel: