Organisasi Perdagangan Internasional (World Trade Organization/WTO) memutuskan Indonesia bersalah karena dianggap mengabaikan keputusan sidang banding WTO (Appelate Body World Trade Organization) pada 9 November 2017. Malahan, Amerika Serikat (AS) telah mengajukan sanksi dagang senilai US$350 juta atau setara Rp5 triliun atas gugatan tersebut. Hal tersebut dinilai akan membuat rencana swasembada pangan belum akan terwujud.
Deputi VII Kementerian Perekonomian, Darwin Siahaan, mengatakan pihaknya belum mengetahui soal sanksi gugatan tersebut, nantinya pihaknya akan berkordinasi dan menanyakan terkait kasus tersebut kepada pihak Kementerian Perdagangan (Kemendag).
“Infonya kan bukan dari pemerintah yang mengeluarkan 350 Juta Dolar itu, Itu hanya sepihak, namun untuk angka angkanya bisa ditanyakan kementerian perdagangan, kami juga belum dapat angkanya sebenarnya brapa,” ungkapnya, dalam keterangan resmi, Jumat (1/3/2019).
Namun lanjutnya, untuk menghindari kejadian tersebut dikemudian hari, pihak pemerintah juga perlu hati-hati mengeluarkan Peraturan Menteri. “Sebaiknya kita perlu kehati-hatian mengeluarkan peraturan menteri,” kata Darwin.
Sementara itu, Sulistio Wijajanto, Kepala Subdit investasi, lingkungan dan pembangunan Kementerian Pedagangan (Kemendag) mengklaim, pemerintah telah melakukan penyesuaian kebijakan terkait importasi hewan, produk hewan, dan produk hortikultura, dengan menghilangkan aturan yang berbenturan dengan perjanjian WTO.
”Fungsi pengawasan terus ditingkatkan sehingga importasi tetap terkendali. Kepentingan nasional Indonesia menjadi prioritas utama dalam perumusan kebijakan, antara lain target swasembada pangan, ketahanan pangan, serta perlindungan terhadap petani,” katanya dalam diskusi tersebut.
Tak hanya itu, lanjutnya, pemerintah akan merumuskan kebijakan yang dapat mengendalikan impor dengan memanfaatkan “policy space” dalam perjanjian WTO.
“Contoh domestic support dan public stock holding (beras), SSG (produk susu dan cengkeh), pengenaan trade remedies (safeguard, anti-dumping, anti-subsidy), pengecualian umum (Artikel XX GATT 1994), SPS measure, TBT measure, kemungkinan mengenakan seasonal tarif dan pengelolaan pelabuhan,” tutupnya.
Dewan Pertimbangan Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Indonesia Hebat (Almisbat) Syaiful Bahari mengatakan, pihaknya juga terkejut perihal sanksi gugatan dan putusan WTO.
“Kami pun sebagai masyarakat baru mengetahui dan terkejut mengapa Indonesia sampai digugat Amerika Serikat dan New Zeland di WTO, Padahal gugatan terkait Peraturan Menteri Pertanian dan Peraturan Menteri Perdangan mengenai Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) sudah diajukan AS dan NZ sejak tahun 2013, yakni Permentan No. 86 tahun 2013 dan Permendag No. 16 tahun 2013,” Jelas Saiful.
Meskipun pemerintah mengaku sudah merevisi peraturan-peraturan tersebut dan mengajukan banding di WTO, namun tetap saja Indonesia dikalahkan karena tidak bisa membuktikan alasan dan argumentasinya. Sehingga Indonesia dianggap tidak patuh dan konsisten dalam menjalankan keputusan WTO.
“Kekalahan Indonesia di WTO bukan persoalan enteng dan bahkan dapat merusak citra Indonesia di perdagangan internasional. Lagi pula kalau ancaman tersebut benar terjadi siapa yang akan bertanggung jawab? Sudah pasti pemerintah dan lagi-lagi uang pajak rakyat terkuras hanya untuk produk regulasi yang buruk dan tidak pernah melibatkan aspirasi masyarakat luas. Hal ini akan menjadi bom waktu buat pemerintahan Jokowi baik saat ini maupun kedepannya,” kata Saiful.
Sebenarnya, lanjut Saiful, gugatan AS dan NZ di WTO sebenarnya terjadi sejak masa pemerintahan SBY yakni Permentan No. 60 tahun 2012 tentang RIPH dan Permendag No. 60 tahun 2012. Namun, pada saat itu pemerintah cepat merespon merevisi Permentan dan Permendag yang dianggap membatasi impor hortikultura dari negara luar.
“Permendag baru tersebut menyederhanakan perizinan impor dan mengeluarkan 18 komoditi dari daftar produk hortikultura, di antaranya bawang putih, bawang putih bubuk, cabe bubuk, kubis, bunga krisan, bunga anggrek dan beberapa produk hortikultura olahan,” jelasnya.
Selanjutnya, Pasca 2014 setelah Jokowi-JK memimpin salah satu yang jadi prioritas adalah meningkatkan produktifitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sebagaimana tercantum dalam Nawacita ke 6. Dengan demikian pemerintah dipacu mempercepat peningkatan sektor-sektor produktif termasuk sektor hortikultura agar bisa bersaing dengan negara-negara lain di pasar internasional.
Namun sayangnya, lanjut Saiful, produk regulasi di sektor hortikultura yang dibuat Kementerian Pertanian pada tahun 2017 dan 2018 yakni Permentan No. 16 Tahun 2017 tentang RIPH beserta revisinya Permentan No. 38 Tahun 2017 dan Permentan No. 24 Tahun 2018 bukannya disusun dengan menjaga prinsip keseimbangan kepentingan di dalam negeri dan perdagangan internasional tetapi melahirkan produk regulasi yang menabrak aturan-aturan WTO.
“Bahkan untuk kasus bawang putih lebih parah lagi, yang sebelumnya sudah dikeluarkan dalam aturan pembatasan importasi dan dalam Permentan sebelumnya hanya masuk dalam daftar lampiran, tetapi sejak 2017 justru dimasukan dalam pasal-pasal wajib tanam sebagai persyaratan mendapatkan RIPH bawang putih. Untung saja saat ini pemerintah China sebagai produsen bawang putih terbesar di dunia belum terlibat di dalam gugatan WTO,” jelasnya.
Disisi lain, kata Saiful, upaya mengejar swasembada pangan sebagai prioritas pemerintah seharusnya diterjemahkan oleh Kementerian terkait dengan baik, komprehensif dan mempertimbangkan berbagai aspek termasuk perdagangan internasional. Jangan memicu negara-negara lain marah sehingga menggugat Indonesia di WTO atau menciptakan perang dagang. Dan jangan juga menggunakan slogan demi kepentingan rakyat dan nasional kita harus memproteksi dan membatasi produk negara lain secara membabi buta.
“Dari kasus kekalahan Indonesia atas gugatan AS dan NZ di WTO menunjukan strategi pembangunan pertanian di Indonesia khususnya di hortikultura tidak memiliki arah dan prioritas yang jelas. Untuk menjadikan produk pertanian Indonesia agar bisa berdaya saing tinggi di pasar internasional harus menggunakan cara-cara yang cerdas dan lebih kreatif agar kita tidak terjebak dalam gugatan negara-negara lain di WTO. Kita harus belajar dari Thailand, Brazil, dan negara-negara lainnya yang bisa menjaga kedaulatan dan kesejahteraan petaninya tapi tetap menjaga keseimbangan perdagangan internasional,” tandasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait: