PDB Indonesia diperkirakan menurun menjadi 5% pada tahun ini dari 5,2% pada 2018, akibat melambatnya pertumbuhan ekspor neto, menurut laporan terbaru Economic Insight: South-East Asia oleh ICAEW.
Demikian juga dengan pertumbuhan ekonomi di seluruh kawasan Asia Tenggara (SEA), diperkirakan sedikit menurun menjadi 4,8% tahun ini dari 5,1% pada 2018 karena berkurangnya pertumbuhan ekspor saat proteksi perdagangan menjadi lebih ketat dan melemahnya permintaan impor China.
Sebagian besar perekonomian memulai tahun ini dengan catatan yang kurang signifikan karena lemahnya aktivitas ekonomi global pada akhir tahun lalu. Momentum dalam ekspor global merosot, dan hanya Malaysia yang memiliki catatan pertumbuhan tahunan yang positif.
Sebagai catatan positif, permintaan domestik diharapkan dapat memberikan bantuan saat prospek ekspor menjadi lebih sulit, bersama kebijakan makro yang akomodatif. Sebagian besar bank sentral mungkin akan mempertahankan suku bunganya hingga paruh kedua 2019, saat tekanan inflasi mereda. Kebijakan fiskal ekspansif juga akan membantu dengan perkiraan pembelanjaan fiskal di Indonesia, Thailand, dan Filipina menguat menjelang pemilu mendatang pada H-1.
Baca Juga: Rupiah Kian Moncer Didukung Pertumbuhan Ekonomi
"Di masa mendatang, kami perkirakan risiko di wilayah tersebut cenderung merujuk ke sisi negatif. Perlambatan tajam pada pertumbuhan ekonomi China yang dipicu oleh keyakinan yang memburuk atau eskalasi baru dalam ketegangan perdagangan AS-China. Keduanya memengaruhi perdagangan global dan pertumbuhan di kawasan tersebut. Dengan demikian, kami perkirakan pertumbuhan PDB di seluruh wilayah akan menurun menjadi 4,8% tahun ini dari 5,1% pada 2018, sebelum berkurang menjadi 4,7% pada 2020," tulis Sian Fenner, Penasihat Ekonomi ICAEW & Ekonom Oxford Economics Lead Asia dalam risetnya.
Permintaan Domestik Tetap Jadi Peyangga Utama pertumbuhan
Permintaan domestik tetap menjadi peyangga utama pertumbuhan pada kuartal ini sebagaimana yang diharapkan, meskipun datanya beragam. Pertumbuhan PDB meningkat pada Q4 2018 menjadi 5,2% dari tahun-ke-tahun, tidak berubah dari kuartal sebelumnya dan mendorong pertumbuhan setahun penuh menjadi 5,2%, naik sedikit dari 5,1% pada 2017.
Pengeluaran konsumen sedikit meningkat, bertambah 5,1% dari tahun-ke-tahun yang dibantu oleh inflasi ringan dan pasar tenaga kerja yang sehat. Di waktu mendatang, inflasi yang sedikit lebih tinggi dan rencana kenaikan upah minimum yang lebih rendah dibandingkan tahun lalu cenderung membebani pertumbuhan pendapatan rumah tangga riil dan pertumbuhan biaya perolehan utilitas sehingga mengimbangi dampak dana tambahan kampanye dalam APBN 2018.
Pertumbuhan dalam pengeluaran anggaran belanja dan investasi pemerintah melambat di tengah upaya untuk menurunkan beban pengeluaran dan mengurangi laju investasi infrastruktur. Selain itu, langkah-langkah yang baru saja diumumkan untuk meredakan impor, termasuk penundaan beberapa proyek dan impor modal (terkait dengan rencana investasi pemerintah dan BUMN tertentu), diharapkan dapat mendorong keinginan berinvestasi.
Baca Juga: Saran CIPS ke Pemerintah Biar Ekonomi Digital Indonesia Makin Optimal
Mark Billington, Direktur ICAEW Regional South-East Asia, mengatakan, meski ICAEW berharap investasi tetap menunjang di tahun ini, risikonya telah meningkat. Potensi memburuknya laporan posisi keuangan BUMN, ketidakpastian profitabilitas beberapa proyek infrastruktur, dan defisit transaksi berjalan yang lebih besar, merupakan tantangan prospek di Indonesia.
"Ditambah dengan lingkungan ekspor yang kurang memadai di tengah redamnya permintaan impor China, pertumbuhan PDB diperkirakan menurun menjadi 5% tahun ini dari 5,2% pada 2018," jelas Mark.
Dampak Pemilu ke Belanja LPNRT
Sebelumnya Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro menyebut, 2018 dan 2019 sebagai potensi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Belanja barang oleh partai politik dan juga belanja pemerintah biasanya justru meningkat pada pilkada maupun pemilu presiden dan wakil presiden.
Ia mencontohkan, pada triwulan pertama dan kedua 2014 lalu atau masa kampanye pemilu presiden dan wakil presiden, pertumbuhan konsumsi lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga (LNPRT) mencapai lebih dari 20%. Ketika masa kampanye, ada kegiatan konsumsi barang yang nondurable. Dua triwulan pertama 2014, pertumbuhan konsumsi non-rumah tangga di atas 20%, misalnya untuk banner dan iklan TV. "Itu yang membuat (pertumbuhan) di atas 20%," jelas Mark.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Yosi Winosa
Editor: Rosmayanti