Sulbar (Sulawesi Barat) menyimpan potensi besar di bidang perkebunan kelapa sawit dan menempati urutan kedua di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Mamuju Utara menjadi daerah terbesar penghasil kelapa sawit di provinsi itu, dengan produksi 514,8 ribu ton di tahun 2016. Warta Ekonomi berkesempatan mengunjungi daerah tersebut untuk melihat langsung perkebunan sawit di sana.
Hujan mengguyur Kecamatan Baras, Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat, saat rombongan wartawan program Fellowship Jurnalist tiba di perkebunan sawit PT Unggul Widya Teknologi Lestari, Senin (29/4/2019), sekitar pukul 15.00 WITA. Sore itu langsung dilanjutkan dengan kunjungan Pabrik Kelapa Sawit yang berlangsung hingga malam hari, sekitar pukul 19.00 WIB, dan hujan masih turun.
Baca Juga: Wow, Pabrik Kelapa Sawit TP Unggul di Mamuju Olah 2.100 Ton Sawit Per Hari
Diguyur hujan semalam suntuk membuat lahan sawit becek dan licin. Tapi kondisi itu tidak menyurutkan semangat Daeng Nyala untuk melakukan aktivitas rutin, memanen sawit. Di temani istri tercinta pria berusia 35 tahun itu tampak bersemangat memanggul dodos sawit seberat 3 kilogram, menyusuri gawangan sawit sembari mengamati Tandan Buah Sawit (TBS) yang siap untuk dipanen.
Pagi itu mulai pukul 07.00 WITA hingga 10.00 WITA, Daeng sudah mengumpulkan sekitar 500 kg TBS. Dia cukup senang karena banyak TBS siap panen yang berukuran besar. Diperkirakan saat jam makan siang target 800 kg sudah tercapai, untuk mendapatkan bayaran minimal Rp110.000 per hari. Setelah itu dia bisa pulang cepat untuk mengerjakan pekerjaan di rumah. Atau mengerjakan pekerjaan sampingan membersihkan gulma atau memupuk sawit untuk mendapatkan penghasilan tambahan.
Daeng hanyalah seorang buruh harian lepas (BHL) di perkebunan sawit milik PT Unggul Widya Teknologi Lestari. Tapi dia sangat bersyukur dengan pekerjaan yang dia geluti. Sebab mau kalau bekerja lebih giat, penghasilannya bisa sudah lebih besar dari Upah Minimum Provinsi (UMP) setempat yang saat ini sebesar Rp2.369.670 per bulan.
Muchtar Tanong, Kuasa Direksi PT Unggul Widya Teknologi Lestari mengatakan, saat ini perusahaan telah menjadi rumah bagi ribuan BHL. Lahan inti (milik perusahaan) seluas 6.380 hektar membutuhkan setidaknya 2 BHL per hektar. Selain mendapatkan gaji, para buruh juga mendapatkan fasilitas mes yang lengkap dengan listrik dan air.
Baca Juga: Pabrik Kelapa Sawit Tanpa Kebun Berpotensi Rusak Tata Niaga Sawit, Kok Bisa?
Namun menurutnya para buruh itu kebanyakan berasal dari luar daerah seperti Pulau Jawa. Dia menduga, banyak masyarakat lokal tidak mau menjadi buruh karena merasa gengsi dengan pekerjaan itu. Seperti kebanyakan masyarakat Indonesia yang rela menjadi Buruh Migran Indonesia (BMI) bekerja di kebun sawit di Malaysia hanya demi gengsi.
“Kalau dibilang demi gaji yang lebih tinggi tidak juga, sebab kalau gaji tinggi dituntut produktivitas yang lebih tinggi juga ya nilainya akan sama saja,” ujar Muchtar.
Menurut Muchtar, yang terpenting dalam bekerja adalah etos kerja. Seperti bekerja di kebun sawit, selain menjadi buruh panen, masih ada banyak pekerjaan lain yang dapat dikerjakan untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Bahkan mereka juga bisa menjadi petani dengan memiliki kebun sendiri atau petani swadaya. Dengan demikian penghasilan mereka akan lebih tinggi lagi.
Kebun sawit PT Unggul juga rumah bagi 3.070 KK (Kepala Keluarga) petani plasma, yang menguasai 6.140 hektar lahan sawit. Mereka adalah masyarakat transmigrasi yang datang ke wilayah tersebut pada tahun 1988, dari berbagai daerah seperti Jakarta, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Barat dan Timur, masyarakat lokal dan eks Kodam.
Kala itu setiap KK mendapat 2 hektar lahan sawit dan setengah hektar untuk rumah dan pekarangan. PT Unggul sendiri ditunjuk sebagai “bapak angkat” yang bertugas memberikan bantuan pendanaan untuk pengadaan bibit dan pupuk, atau disebut dengan program PIR-Trans Sawit. Selanjutnya untuk pembayaran dilakukan dengan cara diangsur, dipotong dari hasil penjualan TBS setelah panen.
Dari mulai tanam hingga dapat dipanen memang membutuhkan waktu paling cepat 4 tahun. Selama belum menghasilkan masyarakat transmigrasi saat itu bisa bekerja sebagai buruh perusahaan. Selain itu juga bisa memanfaatkan pekarangan untuk menanam palawija dan sayur-sayuran. Namun cerita perjuangan itu sudah menjadi masa lalu, sekarang sudah banyak masyarakat yang sukses, bahkan lebih sukses dari karyawan PT Unggul.
“Dulu mereka datang hanya dengan sarung diikat ujungnya untuk membawa baju, sekarang mereka sudah banyak yang punya fortuner,” ungkap Muchtar.
Baca Juga: Awas! Gunakan Bibit Sawit Kualitas Rendah Berpotensi Rugi Puluhan Tahun
Buruh Menjadi Bos
Salah satu petani peserta transmigrasi yang sudah sukses adalah Imade Gunarta, transmigran asal Bali yang kini tinggal di Satuan Pemukiman (SP) II. Pria berusia 55 tahun itu telah berhasil menyulap gubug transmigrasi menjadi rumah mewah.
Penghasilannya juga sudah diinvestasikan untuk membangun hotel di Bali, dan membuka ratusan kebun sawit di berbagai daerah termasuk di Kalimantan. Tidak hanya itu, lima orang anaknya, saat ini sudah menjadi dokter, sudah lulus S2, dan sedang menempuh pendidikan di bangku kuliah, SMA dan SMP.
Imade mengungkapkan, kesuksesannya itu berkat kerja keras yang dijalani sejak awal menjadi transmigran. Dulu dia juga menjadi buruh, membantu perusahaan menanam dan merawat sawit. Tapi kemudian dia dipercaya untuk menjadi mandor perusahaan, yang mengkoordinir buruh-buruh yang lain.
“Saat itu gaji buruh Rp9.000, saya dapat Rp500 untuk satu orang buruh,” ungkap Imade.
Dari situ dia kemudian menyisihkan penghasilannya untuk membeli kebun sawit di tempat lain. Makin lama kebunnya makin banyak. Kalau satu herktar kebun bisa menghasilkan sekitar 8 ton sawit per bulan, dengan asumsi harga per kilo Rp1.000, berarti penghasilannya kini Rp8 juta per hektar per bulan.
Dengan pengalamannya menjadi buruh mandor pun Imade sangat mudah mengelola kebunnya yang mencapai ratusan hektar. Bedanya jika dulu dia menjadi mandor untuk kebun perusahaan. Saat ini dia menjadi bos untuk kebunnya sendiri. Dengan ratusan hektar kebun yang dimiliki tentu sudah rapat diperkirakan penghasilannya, namun Made hanya mengaku penghasilannya kini sekitar Rp50 juta per bulan.
Petani Swadaya
Boleh dibilang kehadiran PT Unggul menjadi pelopor perkebunan sawit di daerah tersebut. Melihat kesuksesan masyarakat trans, banyak masyarakat lokal yang ikut menanam sawit atau disebut petani swadaya. Tidak sedikit pula petani plasma di PT Unggul yang menjadi petani swadaya dengan membuka kebun sawit di lokasi lain.
Menurut Badan Pusat Statistik tahun 2018, hingga 2016 total luas kebun kelapa sawit di Mamuju Utara mencapai 42.805 hektar, dengan status 28.417 hektar menghasilkan, 13.679 hektar belum menghasilkan, dan 709 hekter rusak. Melihat data tersebut, lahan sawit yang belum menghasilkan dipastikan adalah lahan baru yang setidaknya baru mulai ditanam tahun 2013, dan 709 hektar sebagian adalah kebun sawit lama yang mulai tidak produktif.
Di PT Unggul sendiri baik kebun Inti maupun kebun Plasma ditanam mulai tahun 1990, saat ini sudah berusia 29 tahun. Sebagian pohon sawit di kebun inti sudah mulai direplanting (penanaman kembali) sejak 5 tahun terakhir, yang sebagian sudah berbuah. Untuk tahun ini rencananya akan dilakukan replanting sebanyak 350 hektar.
Sugianto, Manager Plasma PT Unggul mengatakan, untuk replanting kebun rakyat direncanakan setiap tahunnya sebanyak 500 hektar. Untuk kebutuhan tersebut, perusahaan telah menyiapkan bibit berkualitas sebanyak 62 ribu pokok tanaman berusia 12 bulan dan siap untuk ditanam.
Sugianto selalu menghimbau kepada petani swadaya, terutama petani plasma untuk selalu menggunakan bibit yang berkualitas, seperti bibit yang disediakan oleh PT Unggul. Sebab penggunaan bibit berkualitas rendah akan berpotensi merugikan petani itu sendiri, karena rendahnya produktivitas tanaman.
Tugas peliputan di PT Unggul Widya Teknologi Lestari berakhir pada hari Rabu, 1 Mei 2019. Dalam perjalanan pulang rombongan wartawan sempat terjebak banjir di Desa Lariang, Pasangkayu, Mamuju Utara. Jalan itu menjadi jalan utama menuju Kota Palu yang ramai dengan berbagai aktivitas. Puluhan kendaraan sepeda motor dan mobil dengan berbagai muatan berhenti, bergantian untuk menyeberangi banjir. Dari pemandangan tersebut Warta Ekonomi melihat betapa perkebunan sawit telah menggerakkan perekonomian di Mamuju Utara.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Agus Aryanto
Editor: Kumairoh
Tag Terkait: