Ketua Tim Hukum Jokowi-Ma'ruf, Yusril Ihza Mahendra, mengklarifikasi pernyataannya yang viral terkait sengketa hasil Pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK), bahwa ‘hasil pilpres bisa dibatalkan jika terjadi kecurangan, jadi bukan persoalan angka’.
Sebelumnya, pernyataan tersebut muncul dalam poster-poster aksi massa pendukung Prabowo di MK. Melalui akun instagramnya, Yusril menegaskan, pernyataannya itu disampaikan saat menjadi saksi ahli di Pilpres 2014. Namun sudah tidak lagi relevan dan tidak tepat jika digunakan kembali di tahun 2019.
“Pendapat saya itu tahun 2014 sebelum adanya UU Pemilu 2017 yang membagi kewenangan pelanggaran Pemilu kepada Bawaslu, PTUN, Gakumdu, dan terakhir MK,” cuitnya Selasa (25/6/2019).
“Pendapat ahli yang dikemukakan dalam sidang berfungsi sebagai alat bukti. MK menolak permohonan Prabowo Hatta seluruhnya. Itu berarti termasuk pendapat saya tidak dapat lagi dipergunakan karena telah ditolak oleh MK. Dari sudut akademik, itu berarti saya harus mengubah pendapat saya tahun 2014 dengan pendapat yang baru,” sambungnya.
Baca Juga: Ancaman Yusril Dibalas Santai Kubu Prabowo: Oh Silakan!
Ia menjelaskan dari sudut hukum pembuktian, pendapat itu tidak boleh lagi dijadikan rujukan dalam mengajukan permohonan yang baru.
"Bahwa pendapat ahli itu berubah, bukanlah berarti mencla mencle atau munafik," imbuhnya.
Dari segi akademis, ia juga membantah atau mengkoreksi pendapat itu hal biasa yang terjadi. Perubahan baginya, terjadi karena hukum harus beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan dinamika kondisi dan situasi.
“Hari ini saya bisa lulus PhD karena mempertahankan sebuah disertasi. Lima tahun kemudian saya mengajukan disertasi kembali yang membantah atau mengkoreksi pendapat saya sendiri. Itu biasa dalam dunia akademik,” terangnya.
Ia mencontohkan, dari adaptasi hukum ini juga diterapkan oleh pendiri Mahzab Syafi’i yakni Imam Syafii. “Pendapat Imam Syafii tentang masalah hukum yang ditulisnya di Madinah beliau ubah ketika beliau pindah ke Baghdad. Itu disebabkan karena penduduk Madinah sangat homogen, sementara penduduk Baghdad sangat heterogen. Perbedaan komposisi penduduk dapat mengubah suatu pendapat hukum. Itu benar kalau dikaji secara sosiologi hukum,” jelasnya.
Menurutnya, masalah seperti itu tidak mudah dicerna oleh orang awam. Karenanya mengaku mendapat bully-an dari berbagai pesan di WhatsApp. “Tapi di medsos hal-hal begini 'dimainkan' untuk membentuk opini: Siapa kawan siapa lawan," tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Irfan Mualim
Editor: Irfan Mualim