Kementerian Pertanian (Kementan) bercita-cita mewujudkan kembali swasembada kedelai. Produksi kedelai saat ini memang belum mencukupi kebutuhan, tapi di 2019 target Kementan tanam 1 juta hektare kedelai baik monokultur maupun tumpangsari padi jagung bisa mendongkrak produksi nasional.
Indonesia memiliki sejumlah wilayah yang menjadi sentra tanaman kedelai. Yang paling sentral di Jawa Tengah, yakni Cilacap, Kebumen, Purworejo, dan Grobogan. Kemudian di Sukabumi terus ke Selatan sampai ke daerah Garut.
"Misalnya Grobogan, Lamongan, Kebumen, itu setelah musim padi, air tidak cukup, bisa untuk nanam kedelai," ujar Direktur Pengolahan dan pemasaran Hasil Tanaman Pangan, Gatut Sumbogodjati di Jakarta, Jumat (13/9/19).
Gatut menyebutkan, untuk membantu menyerap kedelai petani, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan sejak 2018 mengambil hasil produksi kedelai petani Garut dan Cianjur. Rata-rata diambil dua minggu sekali sebanyak 200 kg, harga per kgnya sekitar Rp8.000, diantar sampai Jakarta.
Baca Juga: Sulap Galian Pasir Jadi Lahan Kedelai, Kementan Libatkan Kelompok Tani
"Selanjutnya bahan baku kedelai dari petani itu kami pasok ke pengrajin tahu tempe. Namanya Tahu Onoh," katanya.
"Nantinya bahan baku itu diolah menjadi tempe, tahu, dan susu kedelai dengan branding GREATS. GREATS itu sebenarnya singkatan dari Gurih, Renyah, Enak, Aman, Tanpa GMO, dan Sehat," kata Gatut.
Lebih lanjut disebutkan Gatut, untuk pemasarannya sementara ini masih di lingkup Kementan, selain itu ada gerai GREATS di Kementan. Ke depannya Kementan ingin memperluas jangkauan pemasaran agar bisa membantu petani kedelai.
"Kami ingin mengenalkan bahwa kedelai lokal kita lebih unggul dan patut untuk terus dikembangkan," ucapnya.
Perlu diketahui, kedelai produk dalam negeri memiliki kualitas lebih baik ketimbang kedelai impor. Gatut menjelaskan, secara aspek budi daya tentu lebih baik, memiliki karakteristik fisik dan kimia terbaik, sifatnya nonmodifikasi genetik (non-genetic modified organism/GMO), mutu lebih baik, nilai gizi lebih baik, mampu mencegah penyakit degeneratif, serta rasa dan aromanya lebih baik.
"Kandungan protein kedelai lokal sebanyak 52,7 %, lebih tinggi dibanding kedelai impor yang hanya 46%. Kemudian, sifat nonmodifikasi genetik (non-GMO) sebagai keunggulan dari kedelai lokal," bebernya.
Kedelai lokal merupakan kedelai asli hayati dan bukan kedelai transgenik seperti kedelai impor. Sementara kedelai yang ditanam di negara-negara maju 80% adalah organisme yang telah dimodifikasi secara genetik.
"Terakhir, dari sisi mutu, kedelai lokal memiliki mutu terbaik. Kedelai yang dihasilkan petani lokal lebih berkualitas dalam aroma dan kesegarannya. Kondisi ini terjadi karena kedelai impor itu sudah dipanen tiga bulan lalu atau bahkan telah bertahun-tahun," pungkas Gatut.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: