Kekurangan Dana, PBB Tak Berkutik Atasi Beragam Krisis Dunia
Saat krisis di Suriah mencapai arah baru yang berbahaya, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggelar sidang darurat pekan lalu untuk membahas langkah militer Turki. Sidang itu digelar di kantor pusat PBB yang segera kehabisan dana segar.
Pada 8 Oktober, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Antonio Guterres telah berteriak tentang kondisi keuangan PBB yang di ujung tanduk. Dia menyebut krisis likuiditas parah itu memaksa PBB berhenti merekrut pegawai, menghentikan rencana perjalanan dan membatalkan beberapa rencana rapat. PBB pun harus melakukan penghematan besar-besaran dalam berbagai agendanya.
PBB memang pernah mengalami krisis dana di masa lalu. Faktanya, krisis keuangan paling serius yang dialami PBB terjadi pada era 1960-an, saat Uni Soviet dan Prancis menahan pembayaran iuran untuk memprotes penyalahgunaan operasi penjaga perdamaian di Kongo. Namun krisis keuangan sekarang lebih banyak terkait hubungan bermasalah antara PBB dan Amerika Serikat (AS).
Baca Juga: Sedang Krisis Keuangan, PBB Lakukan Pemangkasan Biaya, Apa Saja?
Siapa yang membayar dan tak membayar? Seperti organisasi multilateral lainnya, PBB mendanai operasinya melalui sistem iuran tahunan. PBB menggunakan berbagai faktor, termasuk ukuran ekonomi satu negara dan kekayaan untuk mengakses kapasitas untuk membayar. Negara-negara sangat miskin mendapat kelonggaran, tapi setiap negara tetap harus membayar, minimal iuran untuk negara termiskin sebesar USD30.000.
Untuk ekonomi terbesar di dunia seperti AS, iuran tahunan jelas besar. Pada 2019, AS berutang lebih dari USD600 juta atau 22 persen dari total anggaran rutin PBB. Selain itu ada tagihan terpisah untuk operasi penjara perdamaian di mana AS juga membayar bagian terbesarnya.
PBB mengharuskan negara anggota membayar iuran tahunan dalam waktu 30 hari sejak awal tahun. Beberapa negara membayar segera, diawali oleh Republik Dominika, Estonia, dan Malawi yang membayar iuran pada 1 Januari. Mereka diikuti kontributor terbesar lainnya yakni Kanada dan Australia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: