Terry Flew, Professor of Communication and Creative Industries, Queensland University of Technology, Brisbane sekaligus Presiden The International Communication Association (ICA) menyimpulkan bahwa demokrasi digital sejauh ini telah menimbulkan krisis kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga demokrasi.
Tampil menjadi pembicara utama dalam konferensi forum ICA Regional Conference 2019 bersama sejumlah peneliti dari Aspikom (Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi) di Bali, pada Rabu (16/10/2019). Flew, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (18/10/2019), menyebut bahwa krisis kepercayaan itu terjadi secara menyeluruh dan tidak hanya terhadap lembaga eksekutif, legislatif, yudkatif, tetapi juga terhadap institusi agama, media massa, perbankan, dan lain-lain.
Baca Juga: Wiranto: Aparat Tidak Anti Demokrasi, Cuma Anti...
"Krisis itu terjadi bersamaan dengan makin mudahnya masyarakat mendapatkan informasi, wacana, referensi, diskusi, dan konsultasi melalui media baru seperti media sosial, mesin-pencari, dan e-commerce," ujar Flew dalam pidatonya di konferensi yang bertajuk "Searching for the Next Level of Human Communication: Human, Social, and Neuro (Society 5.0)".
Flew melanjutkan, ketika banyak hal bisa ditransaksikan dengan e-money, orang perlahan melupakan fungsi perbankan, walaupun e-money sarat dengan kejahatan. Ketika informasi mudah didapatkan melalui media sosial, orang mulai meninggalkan media massa, walaupun akhirnya terbukti media massa lebih dapat dipercaya. Ketika referensi keagamaan begitu mudah didapatkan melalui youtube atau facebook, institusi resmi keagamaan juga mulai ditinggalkan.
Indonesia mungkin menjadi pengecualian dalam kasus ini. Menurut paparan Edelman Trust Barometer, secara global tingkat kepercayaan publik terhadap Pemerintah dan media massa hanya sebesar 44% tahun 2018 dan 47 persen tahun 2019. Namun, berdasarkan temuan Edelman Trust Barometer, tingkat kepercayaan masyarakat di Indonesia terhadap media massa masih cukup tinggi.
Temuan Flew juga menyebutkan jika saat ini sedang terjadi ketidakpercayaan terhadap elite politik oleh masyarakat. Krisis kepercayaan ini menurut Flew juga diperparah oleh krisis pada aras media massa. Hal ini diperumit oleh kenyataan banyak pengelola media massa yang menjadi follower media sosial dalam penyebaran spekulasi, disinformasi, dan hoaks.
"Sudah tahu suatu informasi mengandung hoaks, disebarkan juga oleh media massa untuk mendapatkan share atau hit tanpa verifikasi memadai. Media massa dalam hal ini tidak menjadi sumber informasi yang lebih baik daripada media sosial," tegas Flew.
Sementara itu, menurut pakar komunikasi dari PoliticaWave, Sony Subrata, dalam sebuah tulisannya di buku Jagat Digital, Pembebasan dan Penguasaan, menyebutkan apabila media sosial (medsos) memiliki dampak terhadap masyarakat. Sony mengungkapkan jika medsos bisa menjadi baik bila digunakan dengan semestinya. Namun, medsos juga bisa negatif jika salah dalam pemanfaatannya.
"Apabila kita menggunakan media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram, kita harus benar-benar bijak dalam penggunaannya. Sebab, medsos tidak hanya bisa menghasilkan hal-hal positif, tetapi juga bisa memberikan dampak negatif," ujar Sony.
Sony mencontohkan penggunaan medsos yang negatif, misalnya, penyebaran ujaran kebencian dan berita-berita hoaks kepada Jokowi pada Pilpres kemarin.
"Oleh karena itu, saya sangat berharap nantinya Pemerintah harus bersikap tegas terhadap mereka yang gemar menyebarkan hoaks supaya tidak menimbulkan perpecahan bangsa,” tutup Sony.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Puri Mei Setyaningrum
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: