Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Keekonomian Proyek Infrastruktur Gas Harus Jadi Prioritas

Keekonomian Proyek Infrastruktur Gas Harus Jadi Prioritas Petugas PT Perusahaan Gas Negara (PGN) (Persero) Tbk melakukan pemasangan meteran jaringan gas rumah tangga di Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (3/11). Saat ini PGN telah memasok gas bumi di Palembang ke 6.045 pelanggan yang terdiri dari pelanggan rumah tangga, pelanggan komersial seperti hotel, rumah sakit, kafe dan restoran, serta sembilan pelanggan industri dan pembangkit listrik. | Kredit Foto: Antara/Nova Wahyudi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pengamat Energi dari Reformer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan pembangunan infrastruktur gas bumi masih terkendala oleh tingkat keekonomian proyek. Akibatnya tidak banyak perusahaan yang mau terlibat dalam proyek gas bumi ini. Saat ini hanya Perusahaan Gas Negara (PGN) dan Pertagas yang mengambil peran tersebut.

 

"Pemerintah harus mendorong agar tingkat keekonomian proyek infrastruktur gas jadi prioritas. Selama ini masalah itu (tingkat keekonomian proyek pipa gas) menjadi salah satu penghambat pembangunan infrastruktur gas bumi di Indonesia," ujarnya kepada media akhir pekan lalu.

 

Baca Juga: Akses Energi Gas Bumi PGN Kian Mengekor

 

Komaidi menambahkan, salah satu tantangan pemanfaatan gas bumi di Indonesia adalah di disisi infrastruktur. Terlebih sumber utama gas bumi sebagian besar berada di wilayah Indonesia Timur. Sementara pasar utama pengguna gas bumi berada di wilayah Indonesia Barat. Hal inilah yang kemudian membuat tingkat keekonomian proyek pipa gas menjadi berbeda untuk setiap lokasi. 

 

"Banyaknya cadangan gas bumi di wilayah Timur, sementara konsumen terbesar di bagian barat. Inilah yang membuat proyek energi menjadi tidak ekonomis," tambahnya.

 

Untuk mendorong percepatan pembangunan infrastruktur gas bumi, Kementerian ESDM sebenarnya telah menerbitkan Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 14/2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri ESDM No. 58/2017 tentang Harga Jual Gas Bumi Melalui Pipa Pada Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Bumi.

 

Baca Juga: PGN dan REI Kerja Sama Penyaluran Gas Bumi untuk Perumahan 

 

Aturan yang diundangkan pada 20 September 2019 itu akan mulai berlaku pada 1 Januari 2020. Sesuai ketentuan yang baru, umur keekonomian proyek dihitung selama minimal 30 (tiga puluh) tahun sejak penetapan Harga Jual Gas Bumi Hilir yang pertama. Pada aturan sebelumnya umur keekonomian proyek pipa hanya 15 tahun. 

 

Arcandra Tahar, saat menjabat Wakil Menteri ESDM menjelaskan, terbitnya aturan baru tersebut untuk meningkatkan keekonomian fasilitas pipa dengan tetap memperhitungkan tingkat keekonomian proyek yang wajar. “Kalau lebih panjang jadi 30 tahun harga sewanya akan lebih murah. Intinya jadi lebih kompetitif,” kata Arcandra di kementerian ESDM.

 

Perpanjangan umur keekonomian proyek pipa akan berpengaruh pada toll fee gas. Sementara biaya angkut gas merupakan salah satu komponen pembentuk harga gas. Hal ini sesuai Pasal 4 Permen 58/2017 yakni harga jual gas bumi hilir dihitung menggunakan formula, yakni harga gas bumi ditambah biaya pengelolaan infrastruktur gas bumi dan biaya niaga.

 

Baca Juga: Sampai April, 64% Gas Bumi Diserap dalam Negeri

 

Komaidi menyatakan, pembentukan Sub-holding gas bumi antara PGN dan Pertagas merupakan langkah yang tepat. Dengan penggabungan dua entitas bisnis di sektor gas nasional ini diharapkan pembangunan infrastruktur akan lebih cepat dan meluas.  

 

“Semoga ke depan makin efektif dan efisien pengembangan infrastruktur gas ini. Hal itu penting untuk memperkuat ketahanan energi nasional,” katanya.

 

Selama ini dengan di Indonesia gas yang berasal dari berbagai sumber, baik gas dari sumur maupun LNG, harga yang dipasarkan kepada konsumer bervariasi mulai USD 9 - USD 10 per MMBtu. Sementara berdasarkan data sejumlah lembaga energi terkemuka seperti Woodmack (2018) dan Morgan Stanley (2016), di Singapura konsumen industrinya membeli gas berkisar USD 12,5-USD 14,5 per MMBtu. Sementara industri di Cina harus membayar lebih mahal lagi yaitu mencapai USD 15 per MMBtu.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri

Bagikan Artikel: