Pada saat tender di Petral, supply chain-nya adalah Trader/MOC-Calo 1–Calo2-NOC- Petral-ISC Pertamina, dimana Trader adalah trading house, MOC adalah Major Oil Company, Calo 1 dan Calo 2 trading company milik orang Indonesia berbadan hukum di Singapura, NOC adalah National Oil Company, Petral/PES anak/cucu Pertamina dan ISC adalah unit pengadaan crude dan BBM di Pertamina.
Panjang-nya supply chain tersebut, jelas Inas, terkonfirmasi juga pada laporan KordaMentha tahun 2015, dimana akibat panjangnya supply chain tersebut menjadi bukti adanya mark up pengadaan crude dan BBM yang nilainya antara USD. 1.- hingga USD. 2.- , yang kemudian menjadi alasan bagi pemerintah untuk membekukan Petral.
Adanya mark up di Petral, bukan saja mengenai panjangnya supply chain tapi juga formulanya, contohnya adalah RON88 alias bensin premium, ketika tender masih di Petral, formulanya adalah MOPS92 - USD. 0.5, karena tidak ada publikasi MOPS dari RON88 maka digunakan publikasi RON92 dengan diskon hanya USD. 0.5 saja, tapi setelah Petral dibekukan lalu tender dilakukan di ISC Pertamina maka formulanya menjadi MOPS92 - USD. 2.5, berarti diskon atau potongan harganya justru jauh lebih banyak.
"Setelah Petral dibekukan, Pertamina dengan serius bebenah diri sehingga supply chain sangat singkat yakni Tader/MOC/NOC-ISC Pertamina, dan tidak ada lagi calo terlibat, bahkan NOC juga tidak lagi menjadi perantara melainkan peserta tender seperti Trader dan MOC lainya, artinya bahwa mark up sudah bisa di eleminir dan akan sangat sulit melakukan mark up lagi, apalagi proses tendernya akuntabel," ujar dia.
Lalu alibi pemerintah mengatakan impor minyak membengkak disebabkan oleh mafia, hal itu dirasa tidak logis dan terbantahkan oleh perubahan tatakelola sistem impor minya pada pertamina.
"Kenapa import crude dan BBM terus meningkat? Sangat sederhana! Karena penjualan kendaraan dalam negri terus digenjot, sehingga konsumsi BBM semakin meningkat, sedangkan produksi crude domestik tidak pernah bertambah, bahkan melorot sehingga hanya mampu berkontribusi setengahnya saja dari kebutuhan nasional yakni 1.5 juta bbls/day. Alasan pemerintah bahwa mafia migas yang menjadi penyebab naik-nya import minyak, adalah alasan yang tidak tepat," tegas Inas.
Karena itu, ia menyarankan agar pemerintah lebih kreatif untuk meghadapi defisit migas termasus menghadirkan BBM alternatif dan mendorong kinerja hulu migas tanah air.
"Jika pemerintah ingin menekan defisit neraca perdagangan yang diakibatkan oleh import BBM, maka sebaiknya pemerintah melakukan swap atau barter minyak import dengan batubara domestik, karena Pertamina sudah terbiasa melakukan swap antara minyak dengan produk minyak, tapi walaupun swap antara minyak dengan batubara belum pernah dilakukan, apa salahnya untuk dijajaki juga," tukasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil