Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Dear, Pemerintah! Kata CIPS, HPP Beras Perlu Dievaluasi

Dear, Pemerintah! Kata CIPS, HPP Beras Perlu Dievaluasi Kredit Foto: Antara/Nova Wahyudi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai pemerintah perlu mengevaluasi penerapan Harga Pembelian pemerintah (HPP) beras.

Rendahnya HPP menjadi permasalahan utama yang membuat kualitas beras yang diserap Bulog terus menurun dan sulit disalurkan. Relevansi HPP yang berlaku sudah cukup kadaluarsa kalau melihat pergerakan harga saat ini. Dasar hukum implementasi HPP diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) nomor 5 tahun 2015 yang artinya implementasi HPP sudah berjalan sekitar empat tahun.

Baca Juga: CIPS: Bulog Harus Jaga Kualitas Beras

Sekitar 20 ribu ton stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang disimpan Perum Bulog terancam busuk. Hal ini dikarenakan beras sudah disimpan selama empat bulan di gudang dan belum disalurkan. Akibatnya, beras ini mengalami penurunan mutu atau kualitas/disposal stock.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania mengatakan, kalau Bulog diharuskan untuk mencapai target serapan beras dan bisa menyerap beras berkualitas baik, sebaiknya Bulog diberikan akses untuk menggunakan standar harga HPP Gabah Kering Panen yang lebih bersaing. Saat ini, HPP GKP berada di kisaran angka Rp3.700 per kilogram, dengan fleksibilitas harga sebesar 10%. Artinya, Bulog bisa menawarkan harga pembelian sekitar Rp4.050 per kilogram.

Menurut Galuh, ada faktor-faktor yang mengakibatkan adanya perubahan harga seperti inflasi, biaya transportasi, dan perubahan margin keuntungan petani yang meningkat dari tahun ke tahun. Dalam merespons situasi ini, sebaiknya pemerintah meninjau ulang relevansi HPP.

"Jika dirasa memang HPP masih dibutuhkan, sebaiknya besaran HPP diperbaharui dengan kondisi pasar yang ada saat ini. Namun, dalam jangka panjang, permasalahan seputar penyerapan beras Bulog ini lagi-lagi berpotensi terjadi karena harga di tahun mendatang pasti akan berbeda dan perlu update berkala," ungkap Galuh dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (5/12/2019).

Galuh menambahkan, ada hal lain yang dapat dilakukan dalam jangka panjang agar pemerintah tidak bergantung kepada HPP untuk mengatur harga beras. Cara-cara lain yang dapat dilakukan untuk memastikan harga beras terjangkau bagi konsumen serta tetap menyejahterakan petani adalah intervensi pada segi produksi dan distribusi melalui program-program pemerintah yang juga diintegrasikan dengan penerapan teknologi.

Selain permasalahan kualitas beras akibat terkekang HPP, distribusi beras Bulog juga terhambat karena adanya perubahan skema bantuan sosial. Transformasi dari skema Beras Sejahtera (Rastra) ke Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) membuat beras Bulog tidak lagi menjadi pemasok utama beras dalam skema baru ini.

Kini, dengan adanya program BPNT, peran Bulog dalam penyaluran beras makin jauh berkurang karena suplai beras dapat juga diperoleh dari distributor lainnya seperti swasta. Untuk itu, penting bagi Bulog untuk meningkatkan daya tarik produknya agar diminati oleh masyarakat, terutama para penerima BPNT.

"Bulog perlu memperhatikan persoalan harga, kualitas dan distribusi karena tentu masyarakat akan lebih memilih untuk membeli beras dengan harga terjangkau, berkualitas baik, dan pelayanan yang cepat dan tepat. Bulog juga diharapkan dapat melaksanakan manajemen fungsinya dengan lebih baik, terutama karena Bulog juga masih mengemban tugas publik dari pemerintah dalam hal pengelolaan CBP," tutupnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: