Perawakannya tinggi ramping. Kedua tangannya memegang ponsel pintar di kedua sisi. Sorot matanya juga sepenuhnya tertuju pada layar ponsel pintar itu. Sayup-sayup terdengar lantunan suara khas penyanyi campursari yang kini tengah naik daun, Didi Kempot, dari speaker mini compo tua di ruang tamu. Suaranya tak cukup keras, namun sampai juga di pelataran, tempat bocah muda itu menghabiskan waktu.
Namanya Bintang Pratama. Usianya baru 10 tahun. Namun dia sudah cukup mahir mengendarai motor hingga bermain Mobile Legend (ML), seperti yang dilakukannya saat ini.
“We lha malah uthek kuwi maneh. Tatahanmu iki njur kepiye? Seprene kok ora rampung-rampung, wong mandak putren selembar wae (Nah kok malah asyik bermain itu lagi? Trus kerjaan tatahmu bagaimana? Sampai sekarang kok belum selesai juga, padahal hanya tokoh putri selembar saja),” ujar lelaki tua yang muncul dari dalam rumah.
“Ngko dhisik. Ngko wae tak lanjutke maneh (Nanti dulu. Nanti saja aku lanjutkan lagi),” sahut Bintang sembari berlalu dengan motor maticnya.
Dia lah Saiman, lelaku yang muncul dari dalam rumah Bintang, yang tak lain adalah kakek dari sang bocah. Mereka sekeluarga tinggal Dukuh Butuh, Desa Sidowarno, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten.
Berada dalam wilayah administrasi Klaten, posisi Dukuh Butuh pada dasarnya justru lebih dekat dengan dua kabupaten tetangganya, yaitu yaitu Sukoharjo yang hanya berjarak sembilan kilometer dan cuma 10 kilometer dari pusat Kota Solo.
Dalam kesehariannya, Saiman berprofesi sebagai perajin wayang kulit. Istilahnya dalam Bahasa Jawa adalah kerajinan tatah sungging. “Disebut tatah karena lembaran kulit itu kita ukir menggunakan tatah. Sedangkan sungging adalah aktivitas mewarnainya. Saya ini sekeluarga adalah perajin tatah sungging. Mulai Saya, Istri, anak Saya yang bungsu sampai Bintang tadi, cucu Saya, semua adalah perajin (wayang/tatah sungging),” tutur Saiman, saat ditemui di kediamannya, pertengahan bulan lalu.
Temurun
Ketrampilan tatah sungging wayang secara turun-temurun memang telah menjadi tradisi di Dukuh Butuh sejak lama. Saiman sendiri mengaku sebagai generasi kedua dalam sejarah berkembangnya aktivitas tatah sungging di Dukuh Butuh. Ayahnya meski bukan seorang perajin wayang, namun juga berkecimpung dalam industri yang sama dengan spesialisasi kerja mengerok kulit kerbau sebagai bahan baku utama pembuatan wayang kulit.
Kemahiran Saiman dalam membuat wayang didapatnya dari belajar pada seorang perajin tatah sungging senior asal Wonogiri namun tinggal di desa tetangga, di Kabupaten Sukoharjo. Sedangkan sang istri, Sri Asih, sudah mahir mewarnai wayang sejak lulus Sekolah Dasar (SD).
“Anak Saya ada tiga, laki-laki semua. Yang pertama dan kedua juga bisa menatah wayang, namun tidak sampai berprofesi jadi perajin. Hanya sambilan saja. Yang benar-benar meneruskan Saya sebagai perajin adalah Pendi, anak bungsu Saya,” ungkap Saiman.
Kini, Pendi Istakanudin, nama lengkap anak bungsunya itu, menurut Saiman sudah benar-benar mahir dan telah sepenuhnya bisa dilepas dalam memproduksi wayang sendiri. Usianya kini 29 tahun, dan tercatat sebagai perajin wayang termuda di Dukuh Butuh. Inilah yang menjadi kegundahan Saiman. Regenerasi dalam aktivitas memproduksi wayang di kampungnya kini terhenti hanya sampai di tingkatan anaknya saja.
“Mengajak anak kecil untuk belajar tatah sungging sekarang itu sudah susahnya minta ampun. Contohnya saja cucu Saya tadi, Bintang Pratama, secara kemampuan dia sebenarnya sudah mulai menguasai teknis dasar tatah sungging. Tapi untuk tekun belajar sudah sulit. Maunya main game terus di hapenya, atau jalan-jalan naik motor ketimbang belajar bikin wayang,” keluh Saiman.
Keluhan Saiman ini dibenarkan oleh Mamik, Ketua Kelompok Usaha Bersama (Kube) Bima, sebuah wadah tempat berkumpulnya para perajin batik di Dukuh Butuh mulai untuk silaturahmi hingga bekerja bersama dalam menggarap orderan wayang yang datang.
Menurut Mamik, di tengah laris-manisnya penjualan dan pemesanan wayang yang diterima, para perajin Dukuh Butuh kini dihantui kekhawatiran bakal punahnya budaya tatah sungging di tanah kelahirannya ini. Seiring modernisasi yang mulai menyentuh setiap pelosok negeri, generasi muda Dukuh Butuh juga kian enggan melanjutkan estafet dari orang tua dan keluarga besarnya sebagai perajin tatah sungging wayang kulit.
“Kalau anak-anak kecilnya sudah pasti terpengaruh hape. Jaman kami dulu kan belum ada hiburan apa-apa. Pulang sekolah gitu sambil cari kegiatan ya belajar bikin wayang. Dari situ akhirnya terbiasa dan mulai menekuni. Kalau mereka sudah susah. Apalagi remaja-remajanya. Lulus sekolah penginnya langsung kerja di pabrik, nggak mau jadi perajin wayang,” ujar Mamik.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Taufan Sukma
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: