Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Sebilah Gapit di Antara Gadget dan Deru Mesin Pabrik

Sebilah Gapit di Antara Gadget dan Deru Mesin Pabrik Dalam kesehariannya, Saiman berprofesi sebagai perajin wayang kulit. Istilahnya dalam Bahasa Jawa adalah kerajinan tatah sungging. | Kredit Foto: Taufan Sukma

Menjanjikan

Padahal, secara kesejahteraan aktivitas membuat wayang, menurut Mamik, justru lebih menjanjikan bila dibandingkan dengan bekerja di pabrik. Klaim ini bisa dibuktikan setidaknya lewat harga jual dan lama pengerjaan yang dibutuhkan untuk menghasilkan sebuah wayang.

Mamik mencontohkan untuk jenis wayang dengan tokoh para puteri, Arjuna, Nakula atau Sadewa yang notabene badannya ramping sehingga secara pengerjaan relatif mudah, biasanya bisa diselesaikan dalam waktu maksimal satu minggu per wayang.

Nah wayang-wayang seperti itu harga jualnya rata-rata sekitar Rp800 ribu per wayang. Itu seminggu. Jadi bisa dibayangkan kan pendapatan perajin dalam sebulan sudah berapa,” ungkap Mamik.

Belum lagi, lanjut Mamik, kalau wayang yang dipesan merupakan jenis wayang berukuran besar, seperti Kumbakarna atau jenis gunungan. Jenis wayang seperti itu membutuhkan waktu pembuatan rata-rata sekitar sekitar satu bulan, dengan harga jual untuk kualitas standar rata-rata sekitar Rp5 juta. Kalau pemesan meminta proses pewarnaannya menggunakan prada (lapisan emas), tentu harganya semakin mahal lagi.

“Kalau pakai prada bisa sampai Rp15 juta per wayang. Habis bikin satu wayang kayak gitu sudah bisa berleha-leha dulu ongkang-ongkang kaki. Ibaratnya gitu,” tukas Mamik, sembari menyeruput secangkir kopi hitam di hadapannya.

Besarnya pendapatan sebagai perajin wayang tersebut tentu jauh di atas gaji buruh pabrik yang notabene kerap hanya dibayar sesuai Upah Minimum Kabupaten (UMK) dan Upah Minimum Provinsi (UMP). Jika mengacu pada aturan tahun 2019, misalnya, UMK Kabupaten Klaten diketahui ‘hanya’ sebesar Rp1.795.061 per bulan. Pada tahun 2020 mendatang, besaran UMK tersebut telah disepakati meningkat sebesar 8,51 persen menjadi Rp1.947.821 per bulan.

Jika pembandingnya UMP Jawa Tengah, nilainya justru lebih kecil lagi. Pada tahun 2019 ini, nilai UMP Jateng ditetapkan sebesar Rp1.605.000 per bulan, sedangkan pada tahun 2020 mendatang meningkat menjadi Rp1.742.000 per bulan.

Pun demikian, faktanya tak terelakkan lagi, bahwa tetap saja mayoritas anak-anak muda Dukuh Butuh lebih banyak yang memilih bekerja di pabrik ketimbang menekuni profesi sebagai perajin wayang kulit.

Rumit

Baik Mamik maupun Saiman menilai, keengganan generasi muda untuk menekuni profesi perajin wayang tak lepas dari tingkat kerumitan yang harus dijalani dalam setiap prosesnya. Sebagaimana diketahui, wayang merupakan produk hand made yang mulai dari bahan baku hingga proses pengerjaannya sangat rumit, sehingga membutuhkan keahlian khusus dan tentunya tekad besar untuk bisa mempelajarinya lebih dalam.

“Kalau untuk sekadar wayang souvenir atau hiasan, bahan yang dipakai bisa dari kulit sapi atau malah kambing. Tapi kalau untuk wayang yang beneran dipakai dalang pentas, kulitnya pakai kulit kerbau, karena dia tebal. Kalau kulit kambing tidak bisa karena terlalu tipis,” ungkap Mamik.

Tak hanya kulit, tongkat pegangan sekaligus pengapit kulit wayang agar bisa berdiri tegak juga diambil dari tulang dan tanduk kerbau. Masyarakat Jawa biasa menyebutnya gapit wayang atau cempurit. Selain cempurit, tanduk kerbau juga digunakan di ujung tangan wayang dan berfungsi semacam kuku jempol tangan si tokoh wayang.

Belum lagi keahlian dan kejelian yang mutlak dibutuhkan untuk seseorang dapat menatah wayang dengan baik dan benar. Lalu juga soal pewarnaan yang tentunya harus sesuai dengan pakem-pakem yang ada dalam dunia pewayangan. Untuk bisa memahami pakem-pakem yang ada dan menguasai berbagai keahlian itu setidaknya dibutuhkan waktu Sekitar dua tahun.

“Ini yang biasanya membuat anak-anak muda itu pada malas. Mereka lebih senang kerja di pabrik yang lulus sekolah sudah bisa langsung masuk. Kerjanya seharian cuma pasang kancing atau resleting pakaian. Dan lagi kerja di pabrik dianggap lebih keren karena ikut (bekerja) di perusahaan besar. Padahal kalau mau dibandingkan secara fair, gaji bekerja di pabrik tidak ada apa-apanya dibanding penghasilan seorang perajin wayang,” tukas Mamik.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Taufan Sukma
Editor: Muhammad Syahrianto

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: