Diminta Berani Ambil Risiko Soal Natuna, Pengamat: Pemerintah, Coba Tarik Dubes dari Beijing!
Pemerintah Indonesia didesak menarik duta besarnya dari Beijing dan meninjau ulang seluruh proyek kerja sama dengan China menyusul sikap negara itu yang tidak mengakui kedaulatan Indonesia atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Perairan Natuna, Kepulauan Riau.
Pakar kebijakan luar negeri dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Evan Laksmana, menilai langkah pemerintah yang selama ini sebatas melayangkan nota protes tidak mempan sebab persoalan tersebut terus berulang.
Baca Juga: Masyaallah! Demi Natuna, Tengku Zulkarnain Siap Bertaruh Nyawa
"Kita sudah mengambil langkah yang sama dan berharap hasil yang berbeda. Kalau hari ini Dubes China mau mendengar kita dan bisa membujuk Beijing menarik semua coast guard-nya, tapi apakah ada jaminan bulan depan mereka tidak akan kembali?" ujar Evan Laksmana belum lama ini.
Menurut Evan, selain meninjau ulang kerja sama dengan China, pemerintah Indonesia juga bisa memanggil pulang duta besar dari Beijing hingga China menarik seluruh kapal patrolinya dari perairan Natuna utara. Dengan begitu, katanya, Indonesia punya posisi tawar yang bagus.
Kendati demikian, Evan mengatakan ada risiko yang mungkin saja terjadi dalam hubungan ekonomi kedua negara. Meskipun ia meyakini, China akan melunak sebab tak ingin kehilangan salah satu sumber pasarnya di wilayah Asia.
"Kalaupun ada risiko dan China tetap berkeras, saya merasa situasi sekarang enggak terlalu solid. Jadi China tidak mau berisiko merusak hubungan dengan Indonesia di saat situasi domestik mereka sedang tidak bagus," jelasnya.
"Tapi kalau kita berani ambil sedikit risiko itu, saya rasa China akan lebih rela mundur dibanding merusak hubungan dengan Indonesia dan Asia Tenggara," sambung Evan.
"Jadi, ini semua tergantung niat pemerintah Jokowi untuk ambil risiko dan ini yang kita belum lihat selama ini."
Menjawab usulan penarikan duta besar Indonesia dari China, pelaksana tugas juru bicara Kemenlu, Teuku Faizasyah, mengatakan hal itu akan menjadi opsi terakhir. "Pengelolaan hubungan antarnegara dilakukan secara terukur. Dalam mengelola hubungan tersebut, termasuk pada saat muncul satu permasalahan, ditempuh berbagai pilihan kebijakan dan penarikan dubes lazimnya merupakan opsi terakhir," katanya.
Percepat penyelesaian Code of Conduct
Sementara itu, pengamat hubungan internasional dari Universitas Pelita Harapan, Aleksius Jemadu, menilai persoalan dengan China bisa diakhiri dengan mempercepat penyelesaian rancangan Code of Conduct yang disusun negara-negara ASEAN.
"Code of Conduct itu berisi pengaturan bersama bagaimana berperilaku di kawasan yang ada pulau-pulau yang disengketakan. Seandainya China setuju, mungkin akan mencegah suatu tindakan sepihak yang merugikan kepentingan negara lain," ujar Aleksius Jemadu. "Itu salah satu harapan yang bisa kita pegang," sambungnya.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia harus membenahi komunikasi internalnya agar tidak dianggap ambigu. Sebab, kata dia, pernyataan Menteri Kemaritiman dan Investasi, Luhut Pandjaitan, memberi kesan Indonesia tidak tegas.
"Para pemimpin ini harus bertemu bagaimana menyikapi ini dan mempertimbangkan pilihan yang ada. Presiden Jokowi harus secepatnya mengambil inisiatif berbicara dengan Xi Jinping. Buka peluang itu untuk meniadakan konflik," tukasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum