Kondisi gagal bayar yang dialami PT Asuransi Jiwasraya diyakini karena sarat praktik korupsi dan penyimpangan hukum.
Jaksa Agung Sanitiar Burhanudin meyakini ada pengabain prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan investasi perusahaan asuransi milik BUMN tersebut. Jaksa Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidus) Adi Toegarisman, pun menebalkan, adanya uang negara yang ditaksir hilang dalam investasi liar oleh para petinggi Jiwasraya.
Baca Juga: Saving Plan, Buat Polis Asuransi Jiwasraya Tak Bisa Dialihkan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Rabu (8/1/2020) mengungkapkan, kerugian Jiwasraya pada 2018 sebesar Rp15,3 triliun. Medio September 2019, perusahaan asuransi milik negara itu merugi sebesar Rp13,7 triliun. Pada posisi November 2019, Ketua BPK Agung Firman Sampurna, mengatakan hasil pendahuluan audit investigatif auditor negara, mengungkap kerugian Jiwasraya, mencapai Rp27,2 triliun.
BPK pun mengungkapkan sejumlah penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam pengelolaan Jiwasraya. Berikut penjelasan Ketua BPK Agung Firman Sampurna dalam hasil pendahuluan investigasi Jiwasraya yang sarat koruptif dan aksi korporasi yang cacat hukum. Penjelasan ini, resmi BPK sampaikan ke publik, pada Rabu (8/1/2020), bersama dengan Jaksa Agung Sanitiar Burhanudin.
1. Sebagaimana diketahui, permasalahan Jiwasraya sebenarnya permasalah yang sudah terjadi sejak lama. Meskipun sejak 2006 perusahaan masih membukukan laba, laba tersebut adalah laba semu, sebagai akibat dari rekayasa akutansi atau window dressing. Perusahaan sebenarnya telah mengalami kerugian.
Pada 2017, PT Asuransi Jiwasraya mebukukan laba Rp360,3 miliar. Namun memperoleh opini tidak wajar akibat adanya kecurangan pencadangan kekurangan sebesar Rp7,7 triliun. Jika pencadangan dilakukan sesuai ketentuan seharusnya perusahaan menderita rugi.
2. Pada 2018, Jiwasraya membukukan kerugian unaudited sebesar Rp15,3 triliun. Sampai September 2019 diperkirakan rugi Rp13,7 triliun.
3. Pada November 2019, Jiwasraya diperkirakan mengalami negative equity sebesar Rp27,2 triliun. Kerugian itu terutama terjadi karena Jiwasraya menjual produk JS saving plan dengan cost of fund yang sangat tinggi di atas bunga deposito dan obligasi yang dilakukan secara masif sejak 2015.
Dana dari JS saving plan tersebut diinvestasikan dalam instrumen saham dan reksa dana yang berkualitas rendah sehingga mengakibatkan adanya negatif spread. Pada akhirnya, hal ini mengakibatkan tekanan likuiditas pada Jiwasraya yang berujung pada gagal bayar.
4. Produk JS saving plan merupakan produk yang memberikan kontribusi pendapatan tertinggi di Jiwasraya sejak 2015. Produk ini sebenarnya merupakan produk simpanan dengan jaminan return atau bunga yang sangat tinggi, dengan tambahan manfaat asuransi.
5. PT Asuransi Jiwasraya melakukan investasi pada saham-saham perusahaan yang berkualitas rendah.
6. Pemeriksaa BPK sedang menganalisis prediksi. Predikasi atau hepotesis tersebut. Hal ini belum final.
7. Jual beli saham tersebut diindikasikan dilakukan oleh pihak-pihak yang terafiliasi. Selain itu juga dilakukan dengan mereka yang seharga sehingga harga jual beli tidak mencerminkan harga yang sebenarnya.
8. Saham-saham yang diperjualbelikan tersebut adalah saham-saham yang berkualitas rendah. Pada akhirnya, mengalami penurun nilai dan tidak likuid. Saham-saham tersebut antara lain adalah: BJBR, SMBR, dan PTPRO. Indikasi kerugian negara akibat transaksi tersebut diperkirakan Rp4 triliun.
9. Pihak-pihak yang terkait adalah pihak-pihak PT Asuransi Jiwasraya, pada tingkat direksi dan general manajer, serta pihak lain di luar Jiwasraya.
10. Pada posisi per 30 Juni 2018: PT Asuransi Jiwasraya memiliki sekitar 28 produk reksadana. Dan di antaranya sebanyak 20 produk reksadana kepemilikan Jiwasraya di atas 90 persen. Reksadana tersebut sebagaian besar reksadana dengan underline saham berkualitas rendah dan tidak likuid.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum