Reforma agraria yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat, masih banyak menghadapi hambatan. Salah satunya, kebijakan kawasan hutan yang justru kontradiksi dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan produktivitas lahan.
"Kebijakan kawasan hutan masih bertahan dengan wajah lama dengan menguasai dua pertiga daratan sebagai kawasan hutan dan hanya mengalokasikan sepertinya sebagai areal penggunaan lain," kata Sudarsono Soedomo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB dalam media briefing terkait penyelenggaraan Simposium Nasional Reforma Agraria Implies Reforma Kehutanan di Jakarta, Selasa (14/1/2020).
Sudarsono Soedomo menilai klaim kawasan hutan merupakan problem utama dari persoalan tanah di Indonesia. Jika kebijakan itu terus dipertahankan, Indonesia tidak mandiri secara pangan.
Baca Juga: Ini Kisah Surya Tjandra, Wamen Agraria dan Tata Ruang
"Dengan penduduk 260 juta dan hanya mengandalkan sepertiga kawasan untuk memenuhi kebutuhan pangan sangat berbahaya. Indonesia tidak akan pernah mencapai swasembada pangan, terus bergantung pada impor pangan," kata Sudarsono.
Di sisi lain, kata Sudarsono, penguasaan lahan kehutanan secara berlebihan tidak berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Terbukti, label hutan sejahterakan masyarakat selama ini hanya menjadi jargon.
Sebagian besar desa yang berada di kawasan hutan tetap miskin. Sebaliknya dari sisi kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB), nonkawasan hutan yang luasnya hanya 35% justru berkontribusi 99% lebih, sedangkan kawan hutan hanya berkontribusi kurang dari 1%.
Sudarsono menyarankan agar kategori penggunaan tanah sebaiknya mengikuti ketentuan tata ruang yang terbagi dalam kawasan budi daya dan kawasan lindung. Hal ini untuk mengurangi praktik negara dalam negara dan memberi kepastian bagi masyarakat. Seharusnya, hutan konservasi dan hutan lindung tetap dipertahankan sebagai kawasan lindung dan tidak diganggu.
"Sebaliknya, istilah kawasan hutan produksi dihapuskan dan masukkan tanahnya sebagai bagian dari kawasan budi daya agar dapat digunakan sesuai manfaat terbaiknya," ujar Sudarsono.
Sudarsono berpendapat klaim kawasan hutan yang dilakukan KLHK selama ini telah menciptakan piranti diskriminasi yang menghasilkan ketimpangan. Akibatnya, masyarakat sulit melakukan proses produksi yang efisien dan berkelanjutan karena khawatir dengan klaim kawasan hutan tersebut.
"Karena itu penataan regulasi terkait reforma agraria dengan upaya mengubah perombakan dan pembangunan struktur sosial masyarakat melalui penataan kembali struktur agraria menjadi sangat penting untuk dikedepankan," tegas Sudarsono.
Baca Juga: KAKI Desak Kementerian Agraria Usut Dugaan Komplotan Mafia Tanah di PTPN II
Pernyataan senada dikemukakan Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Hariadi Kartodihardjo. Hanya saja, Hariadi mengingatkan pemerintah perlu berhati-hati agar jangan sampai penataan regulasi menimbulkan masalah baru seperti korupsi institusional.
"Omnibus Law, ketimpangan penguasaan antara kawasan hutan dan bukan kawasan hutan, ketidakpastian kawasan hutan dan implikasinya terhadap aspek sosial, ekonomi dan ekologi harus benar-benar dikawal," kata Hariadi.
Ketua Forum Pimpinan Lembaga Pendidikan Tinggi Kehutanan Indonesia (FOReTIKA) yang juga dekan Fakultas Kehutanan IPB Rinekso Soekmadi mengatakan, ketika agaria direformasi, sektor kehutanan seharusnya ikut direformasi karena mendominasi agraria. Hal ini karena berbagai persoalan lahan, khususnya klaim kawasan hutan, masih mendominasi konflik masyarakat di berbagai daerah.
"Berbagai perbaikan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan harus dilakukan agar reforma agraria ke depan mampu mereduksi ketimpangan struktur agraria yang dipengaruhi kehutanan," tutup Rinekso.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Agus Aryanto
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: