Kementerian Perindustrian menetapkan 15 sektor yang akan mendapat prioritas pengembangan untuk digenjot kinerja ekspornya. Langkah ini bertujuan untuk memangkas defisit neraca perdagangan yang tahun lalu mencapai US$ 3,2 miliar.
Ke-15 sektor potensial tersebut, yakni industri pengolahan minyak kelapa sawit dan turunannya, industri makanan, industri kertas dan barang dari kertas, industri crumb rubber, ban, dan sarung tangan karet, industri kayu dan barang dari kayu, serta industri tekstil dan produk tekstil.
Baca Juga: Enggak Cuma Tukang Impor, Indonesia Mulai Kejar Ekspor Komoditas Unggul ke China
Selanjutnya, industri alas kaki, industri kosmetik, sabun, dan bahan pembersih, industri kendaraan bermotor roda empat, industri kabel listrik, industri pipa dan sambungan pipa dari besi, industri alat mesin pertanian, industri elektronika konsumsi, industri perhiasan, serta industri kerajinan.
"Masalah struktural ekonomi saat ini, yaitu defisit neraca perdagangan dan defisit transaksi berjalan," kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Senin (20/1/2020).
Agus mengatakan, kontribusi sektor industri manufaktur hingga saat ini masih mendominasi terhadap capaian nilai ekspor nasional. Untuk itu, pemerintah akan memberikan perhatian khusus pada pengembangan sektor industri manufaktur.
"Ada beberapa tantangan yang perlu segera dibenahi agar industri kita bisa lebih berdaya saing, antara lain adalah menjaga ketersediaan bahan baku dan komponen. Kemudian, dilakukan pendalaman struktur industri, pengoptimalan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN), dan terus mendorong pembangunan kawasan industri termasuk sentra IKM," sebutnya.
Mantan Menteri Sosial ini menambahkan bahwa kementeriannya juga fokus untuk turut menarik investasi bagi sektor industri yang menghasilkan produk substitusi impor dan tetap menjalankan kebijakan hilirisasi industri. "Untuk mengatasi defisit neraca perdagangan sektor industri juga dapat melalui substitusi impor dan hilirisasi," jelasnya.
Langkah-langkah strategis yang dijalankan, di antaranya, adalah implementasi mandatori B-30. Hal ini dapat memberikan penghematan devisa sebesar US$ 4,8 miliar sekaligus menjamin ketersediaan bahan bakan minyak jenis biosolar. Langkah lainnya, pengembangan litbang industri farmasi dengan tujuan menghasilkan obat untuk kebutuhan nasional dan mengurangi impor bahan baku obat.
Selanjutnya, melakukan penguatan Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) guna mengurangi impor produk petrokimia dan menghemat devisa negara hingga US$ 1 miliar per tahun. Berikutnya, pengembangan gasifikasi batubara di Peranap dan Tanjung Enim untuk mengurangi ketergantungan impor polypropylene dan LPG.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Puri Mei Setyaningrum