Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tanpa Pilihan, Kisah Para Pekerja yang Tak Punya Hak Kerja dari Rumah

Tanpa Pilihan, Kisah Para Pekerja yang Tak Punya Hak Kerja dari Rumah Kredit Foto: Antara/M Agung Rajasa

Merujuk Surat Edaran Dinas Tenaga Kerja DKI Jakarta yang terbit 20 Maret lalu, semua perusahaan didesak mengikuti seruan untuk melaksanakan kegiatan dari rumah. Empat bidang dikecualikan dalam surat itu, yaitu kesehatan, energi, jasa keuangan, dan pangan.

Pemprov DKI meminta para pelaku usaha di empat bidang itu untuk melaporkan siasat pencegahan penyebaran virus corona di antara pekerja mereka.

Faktanya, di Jakarta, sejumlah perusahaan di luar empat bidang itu tetap beroperasi selama kondisi darurat covid-19.

'Selagi belum meninggal, ya harus bekerja'

Linda, buruh di salah satu pabrik garmen berorientasi ekspor di Kawasan Berikat Nusantara Cakung, menyebut perusahaannya tak mengambil kebijakan strategis untuk mengurangi risiko penularan virus corona.

Linda berkata, ia dan sekitar 900 buruh lain di pabriknya masih terus beraktivitas normal: memproduksi 60 potong pakaian per 30 menit selama delapan jam di ruang kerja yang padat.

"Kami tentu sangat khawatir dan ketakutan, apalagi kami kerja berdekatan, tidak ada jarak satu sama lain," kata Linda.

"Sudah dua hari ini ada pengecekan suhu tubuh setiap pagi. Kami diberi masker, tapi itu kami sendiri yang buat menggunakan bahan sisa pabrik. Itu tidak menghilangkan kecemasan."

"Kami wajib bekerja semua. Selagi belum meninggal, ya harus bekerja. Kalau tidak masuk, upah kami tidak dibayar, kecuali ada surat keterangan sakit dari dokter," ujar Linda.

Linda menuturkan, ia dan para koleganya sudah mendorong perusahaannya melonggarkan aktivitas produksi selama pandemi virus corona. Namun kesepakatan urung terjalin.

Seperti saat banjir Jakarta di awal tahun 2020, Linda khawatir libur yang didapatkannya justru harus ditebus dengan bekerja saat libur akhir pekan dan tanggal merah.

"Saya ingin ada ketegasan pemerintah, jika kami diliburkan, kami jangan dibiarkan bernegoisasi sendiri tentang upah. Harusnya soal upah jangan berdasarkan kesepakatan perusahaan dan buruh," ujarnya.

Ingin mudik

Namun tak semua pekerja informal merasa buntung karena wajib beraktivitas layaknya tak ada pandemi.

Khoirul, seorang pelayan restoran di kawasan Menteng, berkata majikannya cekatan menyiasati penyebaran virus corona yang bisa saja dibawa para pelanggannya.

"Tidak ada opsi untuk tidak masuk karena kami sudah diberi libur tiga hari dalam satu minggu. Sekarang restoran juga cuma buka layanan bawa pulang, tidak bisa makan di sini lagi," ujarnya.

Khoirul berkata, selain memberlakukan sistem `satu hari kerja, tiga hari libur`, jumlah pegawai dalam satu sif di restorannya pun dikurangi. Menjaga jarak antarorang, kata dia.

Di sela kecemasannya berada di Jakarta yang menjadi kota dengan kasus positif corona terbanyak, Khoirul berharap bisa pulang-pergi ke kampungnya di Karawang.

Khoirul tahu bahwa pemerintah menganjurkan isolasi diri dan meminimalkan sosialiasi dengan sanak saudara di kampung halaman. Namun ia mengaku sulit menjalankan upaya memutus penyebaran virus corona itu.

"Mumpung ada libur tiga hari, sebisa mungkin saya manfaatkan untuk pulang kampung. Sebenarnya tidak disarankan, tapi kalau hanya berkomunikasi lewat video call, orang tua saya tetap kepikiran keselamatan saya terus," kata Khoirul.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: