Minyak kelapa sawit adalah minyak nabati yang paling fleksibel dan paling efisien di dunia, tetapi juga menjadi komoditas yang paling banyak diperdebatkan karena tuduhan yang tidak terbukti terkait masalah keberlanjutan.
Indonesia merupakan produsen utama minyak sawit di dunia dan kemudian diikuti oleh Malaysia dengan kontribusi keduanya sebesar 85% terhadap total stok minyak sawit dunia. Minyak kelapa sawit telah banyak dimanfaatkan sebagai campuran bahan kosmetik, makanan, dan bahkan bioenergi.
Baca Juga: Kontribusi Sawit Terhadap Emisi CO2 dan Konversi Kawasan Hutan Terbesar di Dunia, Kata Siapa?
Minyak kelapa sawit telah dituduh sebagai penyebab utama deforestasi. Namun, data dari International Union for Conservation of Nature (IUCN) menunjukkan bahwa pengembangan kelapa sawit hanya bertanggung jawab sebesar 0,2 persen terhadap deforestasi global. Secara geografis, Indonesia hanya mewakili 16 persen dari total kehilangan hutan di wilayah Asia Tenggara selama periode 1972–2015.
Sebenarnya, deforestasi di Indonesia telah terjadi jauh sebelum pengembangan perkebunan kelapa sawit. Secara historis, sebagian besar kondisi tersebut disebabkan oleh kombinasi praktik penebangan pohon secara legal dan ilegal yang tidak berkelanjutan. Seperti halnya di Pulau Kalimantan yang menjadi salah satu daerah penghasil minyak sawit di Indonesia. Borneo Indonesia tersebut telah mengalami kehilangan dan degradasi hutan skala besar karena kegiatan ekstraksi dan pembakaran kayu oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Lahan yang telah terdegradasi tersebut akhirnya dimanfaatkan oleh beberapa industri perkebunan, termasuk industri perkebunan kelapa sawit. Upaya tersebut justru mampu memperbaiki fungsi lingkungan dan kualitas tanah, ekonomi, dan sosial di lahan yang telah terdegradasi tersebut.
Sebuah studi dari Gunarso tentang "Kelapa Sawit dan Perubahan Penggunaan Lahan di Indonesia, Malaysia, dan Papua Nugini" memvalidasi kondisi tersebut. Dari total areal kelapa sawit di Indonesia, sekitar 48 persen berasal dari konversi semak belukar dan lahan terdegradasi.
Menurut Jean Marc Roda dari CIRAD Agricultural Research for Development yang membahas Konferensi Minyak Sawit Indonesia pada Oktober 2019 lalu menemukan bahwa puncak deforestasi di Indonesia adalah pada tahun 1997 yakni selama fenomena El Nino dan La Nina. Sementara itu, pengembangan perkebunan kelapa sawit besar-besaran baru terjadi antara tahun 2000–2008, yang pada saat ini, deforestasi skala besar sudah terjadi sebelumnya.
Sejak tahun 2011, pemerintah Indonesia telah menerapkan kebijakan moratorium hutan yang melarang semua lisensi baru untuk melakukan perluasan lahan perkebunan kelapa sawit. Kebijakan ini makin diperketat oleh Presiden RI, Joko Widodo, melalui Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.
Pemerintah menghentikan perizinan ini selama tiga tahun terhitung sejak September 2018 lalu. Tidak hanya itu, dalam Peraturan Pemerintah yang lain juga telah mewajibkan perusahaan untuk mematuhi prinsip-prinsip keberlanjutan yang mencakup komitmen nol deforestasi untuk memastikan keberlanjutan pengembangan usaha pelaku terkait.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: