Tudingan kerusakan hutan akibat perluasan lahan kelapa sawit yang terjadi di Indonesia dan Malaysia masih menjadi senjata yang terus melukai industri kelapa sawit di kedua negara produsen tersebut dan perlu dilakukannya riset lebih lanjut.
Salah satu pendiri Greenpeace, Patric Moore, dalam artikel dengan judul "Pohon Adalah Jawaban" menemukan bahwa sekitar 40 persen dari hutan alam di Australia telah dikonversi menjadi lahan pertanian. Kejadian serupa juga terjadi di Amerika Serikat dengan sekitar 40 persen dari hutan primer di negara tersebut telah dikonversi menjadi lahan pertanian.
Baca Juga: Industri Sawit Tetap Normal Beroperasi Meski...
Dalam catatan Patric juga diketahui bahwa sebanyak 6 miliar orang setiap hari membutuhkan makanan, energi, dan bahan baku lainnya. Oleh karena itu, tantangan terbesar saat ini ialah terkait penyediaan kebutuhan bahan baku yakni dengan meminimalisasi dampak kerusakan lingkungan.
Berdasarkan penjelasan di atas, penebangan pohon saja tidak cukup untuk dituding sebagai penyebab kerusakan hutan. Namun, justru masalah sebenarnya adalah apakah hutan yang ditebang tersebut musnah selamanya atau ditanami lagi dengan pohon-pohon baru.
Berdasarkan hasil penelitiannya, Patric mencontohkan bahwa dengan melakukan penanaman pohon sawit di areal semak belukar, ilalang, dan tanah kosong justru dapat dijadikan sebagai salah satu solusi untuk mengurangi konsentrasi emisi gas karbondioksida di atmosfer. Dengan demikian, "hutan sawit" ini dapat berfungsi sebagai penyerap karbon yang kemampuannya mampu menyamai fungsi hutan alam.
Kendati demikian, bukan berarti hutan alam harus secara semena-mena dikonversi menjadi "hutan sawit" karena fungsi konservasi hutan alam tropis tidak mungkin digantikan oleh "hutan sawit" tersebut. Oleh sebab itu, areal yang memiliki nilai konservasi mutlak harus tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan.
Atas dasar itulah, tuduhan NGO lingkungan yang menyebutkan bahwa perkebunan kelapa sawit sebagai penyebab emisi karbon sebenarnya tidak beralasan. Mengingat, pelaku usaha kelapa sawit telah mengikuti aturan yang berlaku terkait pembukaan kebun sawit seperti zero burning.
Sebaliknya, dalam praktik budi daya perkebunan sawit, lahan pertanaman tidak ada yang dibiarkan kosong. Setelah lahan dibuka, langsung dilakukan penanaman pohon dengan fisiologi daun yang cukup lebat. Bukankah hal itu sumber oksigen yang melimpah ruah?
Simon Chambers dari Deforestation Watch pada 18 Juli 2008 lalu mencatat adanya perubahan hutan sekunder yang ditanami pohon sawit. Kondisi ini diibaratkan dengan membangun hutan tanaman dalam bentuk yang berbeda. Hutan tanaman menjadi komponen penting sebagai reservoir guna menyimpan karbon seperti yang sebelumnya dilakukan oleh hutan alam.
Apalagi, hutan tanaman mampu menyerap hingga 36,5 ton bahan kering per hektare per tahun, dibandingkan dengan hutan hujan tropis yang hanya dapat menyerap hingga 25,7 ton bahan kering per hektare. Oleh karena itu, hutan tanaman ini menjadi lebih efisien dalam upaya membersihkan atmosfer.
Masih menurut catatan Simon Chambers, kelapa sawit telah diperlakukan tidak adil dalam isu emisi karbon. Padahal kenyataannya, porsi penanaman kelapa sawit tidak terlalu padat seperti hutan tropis, tetapi jelas jauh lebih unggul ketimbang tanaman minyak nabati lainnya seperti kedelai, jagung, kanola, dan bunga matahari dalam efisiensi penyerapan CO2 di udara.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Puri Mei Setyaningrum