Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kini Jadi Pandemi, Siapa Pasien Pertama Covid-19?

Kini Jadi Pandemi, Siapa Pasien Pertama Covid-19? Kredit Foto: Antara/Hafidz Mubarak A

Menyebar dengan cepat

Seorang wanita di Thailand yang melakukan perjalanan dari Wuhan adalah orang pertama di luar China yang terkena virus corona. Wanita berusia 73 tahun ini mengatakan dia sama sekali tidak mendatangi pasar mana pun. Dia hanya pernah makan di restoran dan melihat orang-orang batuk di sekitarnya.

Kemudian, di Korea Selatan, seorang anggota jamaah keagamaan yang belum pernah ke Wuhan, terjangkit penyakit ini. Wanita itu pergi makan siang dengan teman-temannya, lalu ke spa dan berdebat dengan pejabat kesehatan masyarakat sebelum akhirnya mengajukan tes Covid-19. Korea Selatan telah melaporkan 10.638 kasus dan 237 kematian sejauh ini.

Baca Juga: Puji Tuhan, Pasien Sembuh Corona Tembus 1.000 Lebih, Wilayah...

Di AS, seorang pria yang pernah datang ke Wuhan kembali ke rumahnya di Washington pada 19 Januari. Dia tidak menunjukkan gejala ketika tiba di rumah, tapi telah membaca berita tentang corona dan ketika merasa sakit, dia langsung ke dokter. Kemungkinan pasien pertama di Amerika telah melakukan hal dengan benar, tapi hal itu tidak menghentikan ledakan kasus di sana.

Infeksi ini menyebar dengan cepat. AS kini telah menjadi sumber nomor satu infeksi Covid-19 di dunia.

Penyebar utama, "bom biologis", dan kapal pesiar

Di Italia, kasus pertama dialami seorang pria berusia akhir 30-an mengembangkan kasus pneumonia aneh dan datang ke rumah sakit di Lombardy pada 18 Februari. Pasien ini memiliki Covid-19 tapi tidak menunjukkan gejala selama hampir sebulan-dia main bola, jogging, menghadiri acara makan malam.

Pria itu tidak memiliki kontak yang diketahui dengan seseorang dari China dan mungkin terkena penyakit itu dari orang lain di Italia. Mungkin saja dia sudah merupakan ke-10 atau 20 atau ke-100. Virus corona segera menjadi bencana di Italia: menyerang populasi lansia di sana, menewaskan sedikitnya 24.000 orang, dan menginfeksi sekitar 180.000 lainnya.

Di Australia, kasus Covid-19 yang pertama kali dikonfirmasi berasal dari seorang pria berusia lima puluhan yang melakukan perjalanan dari Wuhan ke Melbourne pada 25 Januari. Namun, kelompok terbesar yang terinfeksi di Australia sekarang bukan lagi dari luar negeri, tapi dari dalam masyarakat sendiri.

Foto-foto kerumunan orang di pantai Bondi di Sydney pada Maret lalu menjadi viral karena mereka mengabaikan rekomendasi untuk tinggal di rumah. Pada hari-hari berikutnya, belasan orang di Bondi dinyatakan positif. Lalu, keputusan untuk membiarkan kapal pesiar Ruby Princess berlabuh di Sydney pada 19 Maret menyebarkan lebih dari 400 kasus Covid-19 ke Australia.

Kerumunan massa tampaknya telah menjadi akselerator ekstrem yang menciptakan lonjakan kasus besar di seluruh dunia. Pertandingan bola antara Atalanta dan Valencia digambarkan sebagai "bom biologis" yang menyebarkan virus di dua negara. Sepertiga dari kasus di India juga dikaitkan dengan pertemuan kelompok keagamaan di Delhi.

Bisakah kita mencegah pandemi lain?

Penyebaran virus saat ini mungkin tampak menakjubkan dalam skalanya dan kematian yang diakibatkannya, tapi dalam satu hal kita beruntung. Bayangkan jika Covid-19 sama mematikannya dengan SARS dan MERS, tetapi dengan daya menularnya sebesar sekarang.

Dalam skenario itu, tanpa vaksin, kita akan mengalami wabah modern dengan kematian global yang mungkin mencapai ratusan juta. Sejumlah pakar menyebutkan, paparan virus corona terutama berasal dari keinginan untuk makan daging.

Di saat dunia terglobalisasi di mana orang dan barang mengalir dengan bebas, kuman dan virus dapat menyebar dalam waktu singkat. Jika pencegahan virus turunan hewani tidak dimungkinkan, kesiapsiagaan menghadapi pandemi berikutnya sangat penting.

Kemampuan untuk menguji dan melacak terbukti sangat penting dalam perjuangan untuk mengendalikan, menekan, dan mungkin menghilangkan ancaman baru. Sistem politik yang transparan pada saat krisis merupakan penyelamat. Bahkan negara terkaya di dunia gagal bertindak cukup cepat untuk mencegah bencana.

Di New York, lubang kubur yang penuh dengan peti mati mencerminkan kegagalan mengatasi hal ini. Di Inggris, seorang Perdana Menteri yang bercanda soal berjabat tangan dengan penderita Covid-19 justru hampir mati.

Kehidupan pasca pandemi

Ketika virus ini akhirnya bisa diatasi, bagaimana kehidupan kita selanjutnya? Apakah kita masih akan secara spontan menjabat tangan kenalan baru? Atau tidak lagi? Kapan kita bisa kembali ke pantai dan berbaring di pasir di antara ratusan orang asing tanpa merasa khawatir?

Sulit membayangkan ke supermarket dan memegang sebiji alpukat tanpa merasa khawatir sama sekali. Namun, seiring dengan itu semua, mungkin juga kita akan berterima kasih kepada virus corona.

Kita jadinya dapat lebih menghargai kesehatan kita sendiri karena seakan diingatkan hal ini bisa hilang dalam sekejap. Mungkin saja ritme gaya hidup lama akan dengan tetap dilanjutkan begitu badai ini berlalu. Namun, pandemi ini mungkin juga menginspirasi diri kita, masyarakat, dan seisi planet mengenai perlunya gaya hidup baru.

Dari keganasan Covid-19, bisa saja muncul sesuatu yang lebih baik bagi kita semua. Mungkin.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: