Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Di Balik Pertamina Tak Kunjung Turunkan Harga BBM

Di Balik Pertamina Tak Kunjung Turunkan Harga BBM Kredit Foto: Antara/Aprillio Akbar
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sikap PT Pertamina (Persero) tak menurunkan harga BBM subsidi di tengah harga minyak dunia yang anjlok bahkan minus, dinilai masuk akal mengingat BUMN ini terikat dengan beragam regulasi. Salah satunya regulasi harga BBM dari pemerintah hingga soal operasional kilang dan sumur minyak.

Akibat harga minyak mentah turun, Pertamina secara bisnis terdampak di sisi hulu, tapi tidak di sisi midstream dan downstream. Namun, downstream Pertamina tidak dalam kondisi normal dikarenakan permintaan atas konsumsi BBM juga mengalami penurunan.

Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan menyampaikan, menentukan harga jual BBM tidak hanya dari harga minyak mentah, tapi juga biaya operasional bisnis dan lain-lain. Ini perlu dipertimbangkan agar kegiatan bisnis tetap berjalan normal.

Baca Juga: Bos Pertamina Blak-blakan Alasan Ogah Turunkan Harga BBM

Bahkan, harga jual BBM Pertamina saat ini dari pembeliaan dua tiga bulan lalu. Alhasil, tidak bisa dilihat satu variabel saja. Jadi, harus melihat keseluruhan dari unit bisnis yang dijalankan Pertamina. Termasuk di antaranya, biaya yang dikeluarkan Pertamina begitu besar. Hal ini terkait dengan kondisi geografis Indonesia yang luas dan berpulau-pulau.

"Kita tidak bisa membandingkan harga BBM di Indonesia dan Malaysia. Luas wilayah berbeda, biaya distribusi juga berbeda. Jadi, banyak biaya variabel yang dikeluarkan," kata Mamit, Senin (4/5/2020).

Berbagai faktor tersebut, menurut Mamit, tentu memperberat kondisi Pertamina. Terlebih saat ini permintaan BBM juga turun jauh. Hal ini berbeda dibandingkan dengan pemain swasta lain, sehingga butuh banyak pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

Di sisi lain Mamit mengingatkan bahwa Pertamina sebenarnya sudah menurunkan harga BBM nonpenugasan pada Februari lalu. Hulu migas khususnya Pertamina memiliki biaya-biaya yang dibebankan oleh pemerintah. Dalam kondisi penanganan Covid-19 saat ini, Pertamina sudah memberikan banyak bantuan (Rp530 miliar) sehingga tidak serta merta harga minyak dunia turun, harga BBM Pertamina harus turun.

"Jadi, melihat bisnis Pertamina memang harus secara holistik, menyeluruh. Karena tidak hanya bermain di hilir tetapi juga di hulu, yang saat ini mengeluarkan banyak biaya. Ini berbeda dengan swasta," kata Mamit.

 

Tak kalah penting, perlu juga disiapkan insentif oleh pemerintah untuk K3S di masing-masing lapangan di tengah anjloknya harga minyak agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). Jangan sampai, terjadi penghentian produksi karena dampaknya terbilang besar apalagi mayoritas sumur minyak sudah tua di mana memerlukan biaya besar jika diaktifkan lagi. Opsi lain, pemerintah merelakan untuk mengurangi jatah bagi hasil dari penerimaan pajak negara bukan pajak dari K3S. Sehingga akan meringankan beban bisnis K3S. 

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengingatkan, sikap pemerintah yang belum menurunkan harga BBM sudah tepat. Pasalnya, meski mengalami penurunan, harga minyak dunia sebenarnya masih fluktuatif. Sekitar 2-3 bulan mendatang saat pandemi corona sudah mereda, diperkirakan harga akan kembali normal.

Dengan normalnya kondisi, lanjut Komaidi, otomatis sejumlah negara, seperti Jepang, Korea Selatan, dan China, sudah melakukan ancang-ancang untuk perbaikan proses produksi. Begitu pula dengan negara-negara G-7, terutama di Eropa, yang saat ini masih gigih menangani Covid-19.

Bahkan saat ini China sudah memulai pengadaan minyak dan gas, bahkan batu bara. Proses itu dimulai karena industri manufaktur mereka mulai berjalan. Dengan peningkatan produksi manufaktur barang dan jasa itulah, imbuhnya, otomatis permintaan minyak akan meningkat. Stok saat ini mulai bisa terserap sehingga harga berangsur normal.

Ia mewanti-wanti, meski minyak turun dan konsumsi anjlok dratis, tak serta merta bisa membuat Pertamina menghentikan operasi kilang minyaknya. Kilang itu memerlukan biaya operasi. Pilihan menutup sumur minyak bukan opsi menguntungkan. Menutup sumur agar biaya operasi tak lagi keluar, malah akan mematikan sumur minyak. Butuh biaya lagi untuk menemukan dan mengebor sumur baru lagi.

Saat ini permintaan BBM secara nasional anjlok 34 persen, bahkan di Jakarta permintaan anjlok mencapai 54 persen. Karena itu, yang harus dilakukan di tengah Covid-19, distribusi BBM ke berbagai daerah pelosok terus dilakukan dan terjamin. Pertamina dinilai sudah menjalankan bisnis migas dengan menyediakan energi di seluruh Indonesia yang membutuhkan biaya operasional.

Adapun soal harga BBM di Indonesia, di Asean hanya lebih mahal sedikit dari Malaysia, selebihnya lebih murah dari Thailand dan Vietnam. Pandangan bahwa saat harga murah Pertamina bisa borong minyak, harus dilihat terperinci karena ada keterbatasan storage (penyimpanan).

Baca Juga: ICDX Resmi Dagangkan Kontrak Minyak Mentah

Sementara jika menggunakan floating storage, semua kapal tidak bisa sandar. Karena itu, pemerintah didorong membangun infrastruktur minyak dan gas sebagai investasi, seperti membangun jalan, jangan dilihat sebagai cost (beban).

Sebelumnya, dalam sebuah diskusi, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menyebut, harga minyak saat ini adalah bottom, maka bisa dikatakan sebagai sebuah proses untuk melakukan balancing dengan enegi baru terbarukan. Di sisi lain, untuk menjaga bisnis hulu migas tetap survive (stabil), harga minyak mentah yang pas, yaitu di angka US$20 per barel. 

"Suatu perusahaan migas tidak dapat langsung menurunkan produksi migas di saat harga minyak turun karena akan sulit untuk mulai menjalankan operasionalnya lagi. Angka realisasi produksi minyak Indonesia di triwulan 1 yaitu 728 ribu barel per day," ujarnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Agus Aryanto
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: