Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Nasib Ekonomi Nasional Ada di Tangan Bank Sentral

Nasib Ekonomi Nasional Ada di Tangan Bank Sentral Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Center of Reform on Economics (Core) menilai perlunya pemerintah mendapatkan kebijakan tambahan untuk pemenuhan likuiditas di dalam negeri, yaitu melalui kebijakan pencetakan uang oleh bank sentral (Bank Indonesia/BI).

Saat ini diskursus mengenai kebijakan penciptaan uang selalu dikaitkan dengan kekhawatiran terhadap dampak kebijakan sama yang pernah dilakukan pada periode 1960-1966.

Ekonom Core Indonesia, Piter Abdullah berpandangan paling tidak ada dua alasan utama mengapa kebijakan pencetakan uang perlu dan bisa dilakukan di Indonesia saat ini.

Baca Juga: Uang Rampokan Jiwasraya Dipakai Main Kasino di 3 Negara Ini, hingga 15 Kali!

Pertama, tambahan likuiditas diperlukan untuk kebutuhan pembiayaan stimulus. Dia menuturkan, umumnya pemerintah menarik sumber pembiayaan dari dalam negeri melalui penerbitan surat utang. Namun, di tengah keringnya likuiditas akibat pandemi akan sangat sulit berharap permintaan terhadap surat utang pemerintah mampu menutup kebutuhan pembiayaan.

Pasalnya, investor asing yang mempunyai persentase kepemilikan terbesar dalam surat utang pemerintah mengurangi porsi kepemilikannya, sementara bank masih menghadapi permasalahan likuiditas akibat tekanan NPL dan upaya restrukturisasi kredit.

Di sisi lain, investor individu cenderung melakukan precautionary savings yang lazim terjadi di tengah pandemi ataupun tekanan ekonomi.

"Dengan asumsi serapan Surat Berharga Negara (SBN) sampai dengan akhir Mei 2020 mencapai Rp120 triliun, tambahan pinjaman pemerintah yang akan mencapai Rp148 triliun dan kebutuhan pembiayaan mencapai Rp2.426 triliun, maka pada periode Juni-Desember 2020 diperlukan tambahan likuiditas hingga Rp1.800 triliun di surat utang pemerintah," kata Piter saat dihubungi di Jakarta, Kamis (4/6/2020).

 

Menurut dia, hal ini menjadi tantangan karena dalam lima tahun terakhir serapan maksimal pasar pada instrumen surat utang pemerintah hanya mencapai Rp900 triliun, yang terjadi pada 2019. "Di sinilah kebutuhan likuiditas tambahan melalui kebijakan cetak uang diperlukan," katanya.

Dia merinci, posisi jumlah uang beredar di Indonesia saat ini relatif rendah dibandingkan negara-negara lain. Rasio uang primer terhadap PDB (M0/PDB) hanya ada di kisaran 6%. Padahal, di Thailand dan bahkan Vietnam, M0/PDB bisa mencapai 14%. Tambahan uang kartal dengan kebijakan cetak uang baru sebesar Rp1.000 triliun diperkirakan akan meningkatkan M0/PDB dari 6% menjadi 15%, atau kurang lebih sama dengan Thailand dan Vietnam.

Sementara rata-rata pertumbuhan jumlah uang beredar dalam artian sempit (M1) dalam lima tahun terakhir (2015-2019) sangat rendah, yaitu sekitar 11% (yoy), jauh di bawah pertumbuhan M1 semasa krisis ekonomi tahun 1998 yang mencapai 29% yoy.

Apalagi bila dibandingkan dengan pertumbuhan M1 pada 1963-1965 yang secara rata-rata lebih dari 200% yoy sehingga kemudian menyebabkan terjadinya hiperinflasi.

Jumlah uang beredar di Indonesia akan terlihat jauh lebih kecil lagi, jika diukur menggunakan rasio uang beredar dalam artian luas (M2) terhadap PDB. Saat ini rasio M2 terhadap PDB Indonesia hanya sekitar 38%.

Angka ini sangat rendah bila dibandingkan dengan Negara-negara Asean lainnya, seperti Malaysia, Thailand, bahkan Vietnam yang masing-masing mencapai 125%, 124%, dan 158%. Apalagi bila dibandingkan dengan Tiongkok yang M2/PDB-nya hampir mencapai 200%, atau Jepang yang di atas 200%.

"Dengan mempertimbangkan jumlah uang beredar yang saat ini masih sangat rendah, Indonesia sesungguhnya masih punya ruang untuk mencetak uang guna membiayai stimulus fiskal dalam rangka membantu ekonomi di tengah pandemi," katanya.

 

Dia melanjutkan, jika melihat kondisi perekonomian Indonesia saat ini, Core Indonesia berkeyakinan bahwa kebijakan mencetak uang tidak akan serta-merta mengakibatkan hiperinflasi seperti yang terjadi pada periode 1960-1966.

Secara historis, Indonesia pernah melakukan kebijakan cetak uang (money creation) pada masa orde lama yang mengakibatkan hiperinflasi, yakni stadium akhir dari penyakit inflasi. Namun, ada beberapa hal yang mesti dicatat mengapa kebijakan cetak uang pada medio 1960-an itu menyebabkan hiperinflasi.

"Dari sisi produksi, ketika itu perekonomian Indonesia mengalami stagnasi, bahkan pertumbuhannya melambat dari periode sebelumnya," katanya.

Dia melanjutkan, ada beberapa alasan mengapa kebijakan mencetak uang tidak akan serta-merta mengakibatkan hiperinflasi pada kondisi saat ini.

Baca Juga: DPR Usul Cetak Uang Rp600 T, Rizal Ramli: Permainan Bahaya!

Pertama, sebagaimana diuraikan sebelumnya pencetakan uang tidak akan menyebabkan bertambahnya jumlah uang beredar yang terlalu besar. Pasalnya, posisi jumlah uang beredar saat ini relatif rendah, sementara kenaikan jumlah uang yang diakibatkan juga tidak terlalu besar dan berlangsung tidak terus-menerus. "Selain itu pertambahan uang beredar juga tidak serta-merta akan mendorong permintaan," katanya.

Kedua, kenaikan permintaan (yang diperkirakan terbatas) masih bisa diakomodasi dengan ketersediaan pasokan. Dari sisi produksi saat ini Indonesia memiliki sarana dan prasarana produksi yang relatif baik. Memang benar beberapa industri mengurangi aktivitas produksi sebagai respons dari penurunan daya beli masyarakat.

"Namun secara agregat sektor manufaktur dan sektor strategis lainnya sebenarnya masih mengalami pertumbuhan. Bahkan, jika relaksasi kebijakan PSBB dilakukan dengan baik, aktivitas industri berpotensi dapat kembali normal secara bertahap," katanya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: