Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

PDIP Ubah RUU HIP, Muhammadiyah Geleng-geleng: Apa Substansinya?

PDIP Ubah RUU HIP, Muhammadiyah Geleng-geleng: Apa Substansinya? Kredit Foto: Antara/BPMI Setpres/Handout

Mengapa PDIP Berkeras Golkan RUU Ini?

Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin melihat bahwa RUU HIP atau PIP adalah bentuk peneguhan eksistensi secara politik.

"PDIP ingin menunjukan sebagai partai pemenang, partai besar, dan ini adalah kesempatan mereka untuk memberikan legacy terkait dengan ideologi," katanya.

Apakah RUU ini merupakan langkah politik untuk memperkuat dukungan dalam menghadapi pemilu selanjutnya? Menurut Ujang tidak.

Sebaliknya, penolakan yang besar dari masyarakat terhadap RUU HIP berpotensi meruntuhkan dukungan elektoral kepada PDIP.

Ujang pun menambahkan, jika PDIP tetap berkeras melanjutkan pembahasan RUU PIP maka gelombang protes akan terjadi lagi di masyarakat, bahkan berpotensi lebih besar.

Wakil Ketua Pusat Kajian Riset dan Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, Hurriyah memandang alasan PDIP "berkeras" mengegolkan RUU ini adalah bentuk klaim ideologis bahwa PDIP adalah satu-satunya partai penerus gagasan Soekarno.

Baca Juga: Pakar Komunikasi Analisis Amarah Jokowi, Bahas Nasib Terawan

Salah Kaprah Memahami Pancasila

Hurriyah melanjutkan terdapat dua poin yang keliru ditunjukan PDIP dan koalisi pendukung di DPR dalam memandang Pancasila dan RUU HIP.

Pertama adalah pemahaman yang salah para politisi dalam mendudukan fungsi dan posisi Pancasila sebagai sebuah ideologi bangsa.

"Pancasila itu ideologi yang sifatnya konsensus, artinya disepakati bersama sehingga menjadi ideologi terbuka yang mengakomodasi semua elemen baik agama, ideologi sosialisme, demokrasi, marhenisme. Tapi kemudian di era Orde Baru, Pancasila menjadi ideologi tertutup yang dipakai sebagai alat pengebuk, pengatur perilaku masyarakat."

"Cara pandang ini yang ditunjukan para politisi sekarang bahwa Pancasila sebagai pengatur masyarakat. Sehingga Pancasila terlihat seperti ingin dikembalikan sebagai alat pengatur perilaku masyarakat yang sama dengan Orde Baru. Harusnya Pancasila ini menjadi dasar berperilaku bagi negara dan masyarakat, bukan pengatur," katanya.

Kedua adalah RUU ini dibahas di saat masyarakat berjuang menghadapi pandemi Covid-19 dimana banyak orang yang kehilangan pekerjaan, berjuang di rumah sakit, dan dampak lainnya.

"Ini seperti mengajak orang untuk menikmati permainan biola saat kapal Titanic tenggelam. Ini sangat tidak relevan menurut saya," katanya.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: